Perjuangan Paripurna Kapitan Pattimura

administrators 31 Maret 2022 10:10:09 31610

Satu lagi koleksi patung kepala Pahlawan Nasional yang terdapat di luar gedung Museum Perjuangan Yogyakarta yang akan kita bahas dalam kesempatan kali ini. Sosoknya sangat istimewa mengingat keberanian dan ketegasannya menentang Belanda hingga dijatuhi hukuman mati diusianya yang ke 34. Dialah Thomas Matulessy atau yang lebih dikenal dengan Kapitan Pattimura. Kita semua pastilah familier dengan wajahnya yang tertera di atas mata uang Republik Indonesia bernominal seribu rupiah.  


Kapiten Pattimura lahir di Saparua, Maluku pada 8 Juni 1783. ‘Kapiten’ dalam nama Kapiten Patimura bukanlah gelar dalam ketentaraan melainkan gelar yang diberikan oleh mereka yang dipercaya menjadi panglima perang dalam Perang Patimura. Namun demikian, Thomas Matulessy mempunyai pengalaman yang cukup dalam militer, yakni saat terjadi pergantian pemerintahan dari Belanda ke Inggris. Saat itu, diusia 15 tahun ia  memasuki dinas militer Inggris yang dikenal sebagai Korps Limaratus sampai memperoleh pangkat Sersan. Kemudian awal abad 19, Maluku kembali dikuasai Belanda setelah Inggris menandatangani Traktat London yang mengharuskan penyerahan wilayah kekuasaan Indonesia kepada Belanda. 


Secercah harapan rakyat akan kehidupan yang lebih baik, sirna sudah dengan kembalinya Belanda menguasai Maluku. Dibawah kekuasaan Inggris, beberapa peraturan monopoli yang sebelumnya sangat memberatkan mulai diperlunak; kerja rodi tetap dipertahankan namun lebih diringankan; hak ekstirpasi (hak menghancurkan pohon pala dan cengkeh yang dilakukan oleh VOC tatkala hasil produksinya melimpah agar harga jualnya tetap tinggi, namun tanpa memberikan ganti rugi pada rakyat) dihapuskan; rakyat juga diberikan lebih banyak kebebasan dalam perdagangan, dan hanya terhadap penyelundupan Inggris bertindak keras. Menurut I.O. Nanulaitta dalam buku Kapitan Pattimura, bahwa dalam kurun waktu tujuh tahun itu rakyat belajar menghargai dan mengerti arti kebebasan yang sebenarnya. Namun baru sebentar menikmati kebebasan, Belanda kembali memerintah, bahkan lebih kejam dari kekejaman yang dijalankan sebelumnya. 


Rakyat menjadi marah dan memuncak kebenciannya hingga bertekad untuk melakukan pemberontakan. Dalam buku Sejarah Indonesia Modern 1200-2004 (1981) karya M.C. Ricklefs disebutkan bahwa latar belakang perlawanan rakyat Maluku terhadap Belanda dilatar belakangi oleh: Tindakan monopoli perdagangan rempah-rempah yang dilakukan Belanda melalui pelayaran Hongi di Maluku; Kesengsaraan rakyat Maluku karena kebijakan penyerahan wajib berupa penyerahan ikan asin, kopi, da hasil laut lainnya kepada Belanda; serta sikap Residen Saparua yang memperlakukan masyarakat Maluku dengan sewenang-wenang.


Pada bulan Mei 1817, dilangsungkan rapat di hutan Waehaum, pulau Saparua yang dihadiri sekitar 100 orang, dan diputuskan mengangkat Thomas Matulessi sebagai pemimpin pemberontakan mengingat sosoknya yang tegas, pemberani, dan berpengalaman dalam militer. Setelah pengangkatannya ia diberi gelar Kapitan Pattimura. Pada tanggal 15 Mei 1817, pemberontakan terhadap Belanda di Saparua dengan dipimpina Kapitan Pattimura mulai dilancarkan. Mula-mula mereka menghancurkan perahu pos Porto, kemudian dilanjutkan dengan menyerbu benteng Duurstede. Operasi tersebut berhasil berhasil merebut Benteng Duurstede, hingga menewaskan kepala residen Saparua yang bernama Van Den Berg. 


Tak tinggal diam, pada 20 Mei 1817, Belanda kemudian berupaya merebut kembali Benteng Duurstede dengan mendatangkan bala bantuan dari Ambon hingga berjumlah 200 prajurit. Namun upaya penyerangan yang pimpin Mayor Beetjes ini berhasil digagalkan. Bahkan kemenangan dalam pertempuran lain juga diperoleh oleh pasukan Pattimura, yakni di pulau Seram, Larike, Hatawano, Hitu, Waisisil, dan Haruku. Selanjutnya Kapitan Pattimura mengerahkan pasukan untuk merebut Benteng Zeelandia, namun serangan berturut-turut yang dilancarkan oleh rakyat tidak berhasil karena serdadu Belanda di Benteng Zeelandia semakin kuat dengan datangnya bantuan militer ke Ambon. 


Bala bantuan serdadu Belanda terus berdatangan lengkap dengan peralatan perang, kemudian melakukan penyerangan ke Benteng Duurstede yang dikuasai pasukan Pattimura. Karena terus dihujani peluru dan meriam, Benteng Duurstede akhirnya ditinggalkan rakyat dan kembali dikuasai Belanda. Dengan kedudukan Belanda yang semakin kuat, Mayor De Groot kemudian mengumumkan sayembara ‘Barang siapa dapat menangkap Pattimura, akan diberikan hadiah 1000 gulden’. Sayembara itu tidak digubris rakyat, dan mereka mati-matian melakukan perlawanan meski keadaan semakin terdesak. Walhasil, satu demi satu wilayah di Saparua kembali dapat direbut Belanda, kemudian berturut-turut Porto, Haria, Tiouw, Siri Sori, Ulat, dan Ow jatuh ke tangan Belanda.   


Puncaknya, pada bulan November, Pattimura, Anthoni Rebock, Thomas Pattiwael Lucas Latumahina dan Johanes Matulessi tertangkap oleh pasukan Belanda. Para pemimpin pasukan rakyat ini oleh Pengadilan Belanda dijatuhi hukuman gantung. Tanggal 16 Desember 1817 di depan Benteng Victoria di Ambon, dilaksanakan eksekusi hukuman gantung untuk Pattimura. Sesaat sebelum eksekusi dilaksanakan, dengan lantang ia meneriakkan, “Pattimura-Pattimura tua boleh dihancurkan. Tetapi suatu waktu, kelak Pattimura-Pattimura muda akan bangkit!”  

Penulis: Lilik Purwanti (Pamong Budaya Ahli Pertama Museum Benteng Vredeburg Yogyakarta)



Bagaimana informasi yang disediakan website ini?
   

Bagaimana informasi yang disediakan website ini?