Mengenal Sosok Pahlawan Nasional Sang Ayam Jantan dari Timur

administrators 16 September 2021 10:40:46 9238


(Seri Publikasi Koleksi Museum Perjuangan Yogyakarta)


Terlahir dengan nama I Malambasi, sosok ini kemudian bergelar Sultan Hasanudin. Sementara, Balanda menjulukinya de Haav van de Osten alias Ayam Jantan dari Timur karena kegigihan dan keberaniannya.  Ia lahir pada tanggal 12 Januari 1631, dan naik tahta menjadi Raja Gowa (Makassar) ke 16 pada usia 24 tahun (1655) menggantikan ayahnya Sultan Muhammad Said. 


Zaman pemerintahan Sultan Hasanudin merupakan puncak kejayaan Kerajaan Gowa sehingga dikenal sebagai negara maritim yang menjadi pusat perdagangan di Indonesia bagian timur karena lokasinya yang sangat strategis, yakni terletak di tengah-tengah lalu lintas pelayaran dan perdagangan yang ramai antara Indonesia bagian barat dan Indonesia bagian timur. Selain itu, kerajaan Gowa menjadi kekuatan politik yang unggul di Sulawesi Selatan. Tidak ada satu pun kekuatan politik lokal yang mudah menaklukaannya. Kerajaan ini sangat kuat, kapal dagang dan duta yang datang ke Makassar bersaksi atas kebesarannya (Andaya, 2004:55-56).


Ditengah kuatnya hegemoni Kerajaan Gowa di daerah Sulawesi Selatan dan sekitarnya, bahkan di seluruh Indonesia bagian timur, pada saat yang bersamaan, kerajaan itu juga mendapatkan ancaman yang bertubi-tubi dari orang Bugis dibawah pimpinan Aru Palaka yang kemudian bekerjasama dengan penjajah Belanda (VOC). Terkait ketegangan yang terjadi antara Kerajaan Gowa dengan VOC, sesungguhnya telah berlangsung jauh sebelum Sultan Hasanudin bertahta karena, VOC yang dihinggapi demam rempah-rempah kerap melarang orang Makassar berlayar dan berdagang (mengkulak) rempah-rempah di kepulauan Maluku yang merupakan penghasil rempah-rempah untuk dijual kembali ke Gowa yang merupakan pusat perdagangan. Sultan Hasanuddin, seperti juga pendahulunya, menentang keras segala upaya monopoli di laut dan perdagangan


Terhadap hak monopoli yang hendak di jalankan VOC tersebut, Kerajaan Gowa berpendirian: “Tuhan Yang Maha Kuasa telah menciptakan bumi dan lautan. Bumi telah dibagikan diantara manusia, begitu pula lautan telah diberikan untuk umum, bukan hanya untuk VOC atau orang-orang Belanda. Tidak pernah terdengar bahwa pelayaran di lautan dilarang bagi seseorang. Jika Belanda melarang hal itu maka Belanda seolah-olah mengambil nasi dari mulut orang lain. Demikianlah pendirian dari Sultan Hasanudin serta para pendahulunya, yakni Sultan Muhammad Said dan Sultan Alaudin. Itulah sebabnya mengapa kerajaan Gowa dengan keras menentang usaha monopoli VOC. Sebaliknya, VOC berusaha keras untuk menghancurkan dan menyingkirkan kerajaan Gowa (Sagimun, 1985:71)  


Puncak pertentangan kerajaan Gowa dengan VOC ditandai dengan meletusnya Perang Makassar pada tahun 1666. Dengan menjalankan Politik Devide et Impera, VOC mendekati daerah yang ingin memberontak untuk dijadikan sekutu agar tidak banyak korban yang jatuh dari pihak VOC.  Maka dihimpunlah suatu pasukan ekspedisi yang terdiri atas 21 kapal yang mengangkut 600 orang tentara berkebangsaan Eropa, serdadu Ambon, dan Arung Palaka beserta pasukan Bugisnya. Panglima armada tersebut adalah Cornelis Speelman yang kemudian menjadi Gubernur Jenderal. Peperangan ini terjadi di darat maupun dilaut yang memakan waktu hampir satu tahun lamanya. (Ricklefs : 133) 


VOC beserta sekutu-sekutunya keluar sebagai pemenang dalam pertempuran tersebut, kemudian Sultan Hasanudin dipaksa tunduk dalam Perjanjian Bungaya ( 18 November 1667). Namun Sang Ayam Jantan dari Timur dengan tegas menolak melaksanakan isi perjanjian Bungaya dan kembali melakukan perlawanan, hingga mendapatkan serangan besar-besaran dari VOC dan sekutu-sekutunya sejak bulan April 1668 hingga Juni 1669. Pasukan Sultan Hasanudin kalah dalam pertempuran tersebut sehingga perjanjian Bungaya terpaksa harus dilaksanakan. Perjanjian ini menimbulkan perubahan politik besar-besaran di Sulawesi Selatan. Kerajaan Gowa dipersempit kekuasaannya, sedangkan Bone dan Bugis terbebas dari kekuasaan kerajaan Gowa. Benteng yang berada di Ujung Pandang diserahkan kepada VOC, dan diberi nama baru ‘Rotterdeam’ yang diambil dari nama tempat kelahiran Cornelis Speelman.


Benteng Sombaopu jatuh ke tangan VOC pada 24 Juni 1669. Benteng kebanggaan kerajaan Gowa yang menjadi saksi bisu kegigihan Sultan Hasanudin dan pasukannya melawan kesewenang-wenangan penjajah ini kemudian dihancurkan sampai rata dengan tanah oleh orang-orang Belanda. Karena tebal dan kokohnya dinding tembok yang melingkari benteng Kerajaan Gowa ini, Belanda menggunakan beribu-ribu pon mesiu untuk meledakkannya.  (Sagimun, 1985: 428)


Lima hari setelah Benteng Sombaopu jatuh ke tangan VOC, Sultan Hasanudin mengundurkan diri dari tahta kerajaan. Ia menyerahkan tahta pada putranya I Mappasomba Daeng Nguraga (Sultan Amir Hamzah) yang saat itu berusia 13 tahun. Setahun setelahnya, Sultan Hasanudin meninggal dunia pada usia 39 tahun. Berkat kegigihannya mempertahankan kehormatan negerinya, Gelar Pahlawan Nasional disematkan pada Sultan Hasanudin yang diteguhkan dengan Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia tanggal 6 November 1973 No. 887/TK/Tahun 1973. Relief patung Sultan Hasanudin, salah satunya bisa kita jumpai berjajar bersama dengan Pahlawan Nasional lainnya di Museum Perjuangan Yogyakarta. 


Penulis: Lilik Purwanti (Pamong Budaya Pertama Museum Benteng Vredeburg Yogyakarta)





Bagaimana informasi yang disediakan website ini?
   

Bagaimana informasi yang disediakan website ini?