De Java Oorlog: Kisah Perjuangan Pangeran Diponegoro melawan Penjajah Belanda

administrators 16 Agustus 2023 13:05:51 17443


 Sejarah Perang Diponegoro (The Java War/ De Java Oorlog) 1825-1830


Perang Diponegoro terjadi pada tahun 1825-1830. Pemicu terjadinya perang Diponegoro (1825-1830) adalah penancapan tonggak-tonggak pembuatan jalan rel kereta api. Pada masa itu, Belanda tengah giat-giatnya membangun rel kereta api yang melewati daerah Tegalrejo di Jawa Tengah. Rupanya di salah satu sektor, rel kereta api yang dibangun akan tepat melintasi makam dari leluhur Pangeran Diponegoro. Hal inilah yang membuat Pangeran Diponegoro marah luar biasa, dan memutuskan untuk mengangkat senjata melawan Belanda. Namun, penyebab perang tersebut sebenarnya merupakan akumulasi semua permasalahan yang ada, seperti pajak yang tinggi, campur tangan Belanda dalam urusan istana Yogyakarta, hingga permasalahan ketidakpuasan di kalangan istana itu sendiri 

Dalam peperangan ini, metode-metode yang ada dalam perang modern dipakai dan diterapkan. Metode-metode tersebut adalah perang terbuka (open war fare) dan perang gerilya (guerrilla war fare). Perang ini juga dilengkapi dengan taktik urat syaraf (psy-war) yang dilakukan melalui insinuasi dan tekanan-tekanan serta profokasi terhadap pihak lawan (taktik ini dipakai oleh pihak kolonial Belanda terhadap kaum pribumi yang terlibat dalam pertempuran). Selain itu, dalam perang ini juga diterapkan taktik spionase, yaitu sebuah taktik untuk mencari kelemahan lawan (memata-matai lawan).

Selama perang berlangsung sekitar 200.000 penduduk, 8.000 serdadu Eropa dan 7.000 tentara pribumi tewas, dengan memakan dana tidak kurang dari 20 juta gulden. Dengan demikian dapat dibayangkan bahwa Perang Diponegoro merupakan perang besar di Jawa selama periode awal abad 19. Sedemikian hebatnya perlawanan P. Diponegoro sampai-sampai membuat pemerintah kolonial berganti strategi untuk menghadapi peperangan ini. Apabila pada awal perang Strategi Belanda adalah melakukan pengejaran untuk menangkap P. Diponegoro, yang justru menimbulkan banyak korban di pihak Belanda, maka pada fase selanjutnya yaitu memasuki tahun 1827, berdasarkan informasi mata-mata Belanda, Kyai Sentono yang telah diselundupkan ke markas P. Diponegoro sejak Nopember 1826, Belanda merubah strategi. Konsentrasi mereka tidak lagi pada pengejaran P. Diponegoro tetapi pada taktik pengepungan melalui pembangunan benteng dan pos pertahanan Benteng stelsel. Perang Diponegoro juga sekaligus perang besar dan dianggap sebagai fase terakhir keterlibatan tentara Jawa dalam perang.

Sejarah Perang Diponegoro

 

Sejarah Perang Diponegoro (The Java War/ De Java Orloog) secara lengkap diabadikan di Museum Benteng Vredeburg Yogyakarta tepatnya di diorama 1. Salah satu adegan diorama tersebut adalah Adegan Pangeran Diponegoro, bersama dengan Pangeran Mangkubumi, Pangeran Angabei Jayakusumo, Alibasah Sentot Prawiradirja dan Kyai Maja mengatur siasat perlawanan tehadap Belanda, berlokasi di Gua Selarong di Dusun Kembang Putihan, Desa Guwosari Kecamatan Pajangan, Bantul, Juli 1825.

Selama Pangeran Diponegoro bermarkas di Selarong, Belanda telah mengadakan penyerangan sebanyak 3 kali. Serangan yang pertama dilaksanakakan pada tanggal 25 Juli 1825 oleh pasukan yang dipimpin oleh Kapten Bouwens. Serangan ini merupakan balasan dari aksi perlawanan pasukan Diponegoro di desa Logorok dekat Pisangan, yang mengakibatkan 215 pasukan Belanda dibawah Kapten Kumsius menyerah. Serangan kedua dilaksanakan pada akhir bulan September 1825 dengan dipimpin oleh Mayor Sellewijn dan Letnan Kolonel Achenbach. Selanjutnya  serangan yang ketiga dilaksanakan pada tanggal 4 Oktober 1825. Setiap penyerangan ke Selaraong dilakukan oleh pasukan Belanda, pangeran Diponegoro menghilang di goa-goa sebelah barat perbukitan Selarong yang tidak diketahui oleh Belanda. Setelah pasukan Belanda meninggalkan Selarong, Pangeran Diponegoro muncul lagi demikianlah yang terjadi, sehingga perang frontal tidak terjadi dan penyerangan Belanda tersebut tidak berakibat apa-apa. Selanjutnya pasukan Pangeran Diponegoro melakukan perjuangan secara bergerilya dan dengan giat mengadakan penyerangan terhadap patrol Belanda. Perang berkobar sampai ke wilayah Pacitan, Purwodadi, Banyumas, Pekalongan, Semarang dan Madura. Karena pengaruhnya yang hampir meliputi seluruh Jawa maka perang tersebut dikenal dengan Perang Jawa (De Java-oorlog). 

Gerakan pasukan Pangeran Diponegoro dengan siasat gerilyanya sulit ditaklukkan musuh. Beberapa kali usaha penggempuran markas Pangeran Diponegoro dilakukan, tetapi selalu mengalami kegagalan. Markasnya di desa Panjer (Kedu) diserang oleh Belanda, tetapi Pangeran Diponegoro beserta pasukannya dapat meloloskan diri dan mendirikan markas lagi di desa Crema (Kedu).  Dari desa ini Pangeran Diponegoro dan pasukannya mengadakan serangan terhadap pos-pos Belanda. Tak lama kemudian markas tersebut diketahui oleh Belanda, namun kali ini Belanda tidak menyerangnya tetapi menggunakan taktik baru yaitu menjebak Pangeran Diponegoro dengan jalan perundingan. Jenderal De Kock mengutus Letkol Cleerens untuk menjumpai Pangeran Diponegoro di Desa Crema dan diajak beruding di Magelang.

Dari pembicaraan antara keduanya didapat kesepakatan jika perundingan gagal Pangeran Diponegoro dan pengikutnya tidak akan ditangkap. Pada tanggal 18 Maret 1830 (bertepatan bulan Romadhan) Pangeran Diponegoro beserta pengikutnya tiba di Magelang dan disambut dengan upacara militer oleh Jenderal De Kock. Saat itu Pangeran Diponegoro didampingi oleh para pengikutnya antara lain Pangeran Diponegoro Muda (Dipokusumo), Raden Mas Jonet, Raden Mas Roub, Raden Basah Mertonegoro dan Kyai Badarudin.

Setelah bertemu dengan Jenderal De Kock, Pangeran Diponegoro mengusulkan agar perundingan diundur setelah Idul Fitri (27 Maret 1830) dan disetujui tanggal 28 Maret 1830. Akan tetapi pada tanggal 25 Maret 1830 Jenderal De Kock mengirim surat kepada Letnan Du Perro agar disiapkan pasukan untuk mengepung tempat perundingan. Jika perundingan gagal pasukan diperintahkan untuk menangkap Pangeran Diponegoro dan para pengikutnya. Pada tanggal 28 Maret 1830, Pangeran Diponegoro dan para pengikutnya antara lain Pangeran Diponeogoro Muda (Dipokusumo), Raden Mas Jonet, Raden mas Roub, Raden Basah Mertonegoro dan Kyai Badarudin mengadakan perundingan dengan Jenderal De Kock yang didampingi oleh Residen Valck, Letnan Roest, Mayor de Stuers, dan Kapten Roefs sebagai juru bahasa.

Dalam perundingan tersebut Pangeran Diponegoro menuntut agar didirikan suatu negara yang merdeka yang bersih dari penjajahan dan bersendikan agama Islam. Tuntutan tersebut tidak disetujui oleh Jenderal De Kock dan akhirnya perundingan mengalami kegagalan. Pasukan yang telah disiapkan lebih dulu diperintahkan untuk menangkap Pangeran Diponegoro dan pengikutnya.  Kemudian Pangeran Diponegoro diasingkan ke Manado (3 Mei 1830). Tahun 1834 dipindahkan ke Ujung Pandang hingga wafat pada tanggal 8 Januari 1855.

Untuk sejarah Perang Jawa atau Perang Diponegoro secara lengkap dan runtut diabadikan di Diorama I Museum Benteng Vredeburg Yogyakarta. Oleh karena itu, jika sobat museum ingin mengetahui lebih lanjut mengenai Perang Jawa atau Perang Diponegoro dapat berkunjung langsung ke Museum Benteng Vredeburg Yogyakarta. 


Penulis: Haliimah Ardelia Sekar Sari (Mahasiswa Magang Universitas Muhammadiyah Yogyakarta)




Bagaimana informasi yang disediakan website ini?
   

Bagaimana informasi yang disediakan website ini?