Hadir dalam Seminar Virtual Vredeburg, Ravando Lie Kupas Tuntas Peran Shinpo dalam Pergerakan Nasional

administrators 26 Februari 2022 16:25:01 1318


Pers yang berkembang di Hindia Belanda yang mulanya didominasi oleh orang Eropa, sekitar abad 19-20 mulai dimasuki oleh orang-orang non Eropa seperti Tionghoa dan Bumiputra. Shin Po, surat kabar peranakan Tionghoa yang terbesar dan paling berpengaruh pada saat itu, cukup besar jasanya dalam menggoreskan tinta warna sejarah Indonesia. Shinpo merupakan koran pertama yang memuat teks lengkap lagu “Indonesia Raja” gubahan Wage Rudolf Soepratman. Selain itu, Shinpo juga mempelopori penggunaan sebutan “Indonesia” menggantikan “Hindia Belanda”, serta menggantikan sebutan “inlander” dengan “warga Indonesia” atau “bangsa Indonesia”. Kemudian sebagai balas budi, pers Bumiputra juga mulai menggunakan kata “Tionghoa” untuk menggantikan Cina, dan menamakan “Tiongkok” dalam menyebut Negara asal mereka. Tindakan tersebut mendorong koran-koran lain menggunakan strategi yang sama, bahkan lambat laun diikuti juga oleh koran-koran Belanda. 


Demikianlah diskusi yang mengemuka dalam Seminar Virtual Sejarah pada Selasa (15/2/2022) yang bertajuk “Pers Tionghoa dalam Pergerakan Nasional”. Acara ini diselenggarakan Museum Benteng Vredeburg Yogyakarta dalam rangka menyemarakkan Hari Pers Nasional dan Hari Imlek yang jatuh pada bulan Februari. Hadir sebagai pembicara Ravando Lie, Sejarawan Kandidat PhD University of Melbourne dan Mediari Yulian Pramularsih, Staf Perpustakaan Monumen Pers Nasional Surakarta. Sebagai moderator dalam seminar tersebut, Muhammad Muchlis, Pamong Budaya Dinas Kebudayaan Kota Yogyakarta. Turut hadir memberikan sambutan dalam kesempatan tersebut, Kepala Museum Benteng Vredeburg Yogyakarta, Drs. Suharja. 


Ravando Lie dalam kesempatan tersebut mengisahkan bahwa partisipasi etnis Tionghoa dalam dunia pers modern Indonesia sesungguhya telah berlangsung sejak abad ke-19. Bermula dari menjadi agen koran, mereka kemudian mengirim tulisan secara berkala ke berbagai koran Belanda maupun Indo-Eropa, atau bekerja sebagai juru ketik di koran-koran tersebut. Kemudian seiring dengan turunnya harga gula dan kopi di pasar dunia, banyak pengusaha Tionghoa yang mencoba peruntungan baru, salah satunya disektor media. Koran Bintang Timur di Surabaya dan Bintang Johar di Bogor diduga sebagai koran mula-mula yang mana orang Tionghoa memiliki saham didalamnya. Kedua koran ini diakuisisi pada tahun 1886 setelah dinyatakan pailit pasca mengalami krisis berkepanjangan. 

“Setelahnya mulailah bermunculan koran-koran Tionghoa lainnya diberbagai daerah, sebut saja Tambur Melayu di Semarang; Sinar Terang di Batavia; serta Cahaya Sumatera di Padang, dan lain sebagainya”, papar kandidat PhD yang disertasinya membahas koran Shinpo ini.


Memasuki awal abad 20 perkembangan surat kabar Tionghoa mencapai puncaknya. Pengaruh kaum modernis / nasionalis Tiongkok yang kemudian menginspirasi berbagai organisasi Tionghoa di Indonesia, dan salah satunya adalah THHK (Tiong Hoa Hwee Kwan) . THHK berperan penting dalam mendirikan berbagai sekolah yang kelak melahirkan kaum terpelajar Tionghoa yang kemudian memainkan peranan penting dalam dunia persuratkabaran di Indonesia. Shinpo sebagai koran paling berpengaruh pada masanya, dua orang pendirinya merupakan alumni THHK yang merasa bahwa media peranakan yang ada tidak mampu berbuat banyak dalam merepresentasikan aspirasi dari orang-orang Tionghoa pada saat itu. 


Sejak awal penerbitannya tahun 1910, Shinpo membuka kesempatan seluas-luasnya kepada para pembaca yang ingin mengirimkan tulisannya ke Shinpo, dan kesempatan ini terbuka untuk seluruh suku bangsa, tidak hanya terbatas pada orang Tionghoa saja. Sebagaimana tertulis pada redaktur dari Shinpo, disebutkan bahwa artikel bisa ditulis dengan huruf Tionghoa maupun latin, bahasa Belanda ataupun Inggris, yang nantinya pihak redaktur yang akan menyalinnya dengan bahasa melayu rendah. Dua bulan setelah penerbitannya, Shinpo kebanjiran artikel dan surat pembaca sehingga memaksa editor untuk menangguhkan beberapa artikel karena keterbatasan halaman. 


Lewat artikel-artikel kritisnya Shinpo berulang kali mengkritisi kelompok elite Tionghoa yang dianggap tidak mampu berbuat banyak untuk menghentikan kebijakan-kebijakan diskriminatif terhadap orang Tionghoa dan Bumiputera. Shinpo menjelma menjadi semacam kendaraan bagi kaum Tionghoa yang selama ini tidak memiliki akses untuk menyuarakan aspirasi mereka. Penerbitan Shinpo mampu menarik perhatian orang-orang Tionghoa pada saat itu, dan tidak sedikit yang mengirimkan surat kepada Editor Shinpo yang meminta agar frekuensi penerbitan surat kabar ini diubah dari mingguan menjadi harian. 


“Karena permintaan yang datang terus menerus, maka terhitung sejak 1 April 1912, Shinpo resmi berubah dari Surat Kabar Mingguan menjadi Surat Kabar Harian”, papar Ravando Lie. 


Shinpo kemudian berevolusi dari sekedar Surat Kabar yang banyak menerjemahkan sastra Tionghoa dan sastra Barat menjadi surat kabar yang menyediakan forum diskusi dan perdebatan bagi nasib kulit berwarna di Indonesia. Sehingga mereka bisa menyuarakan apapun ke Shinpo. Begitu populernya Shinpo, maka tidak mengherankan pada tahun 1932 Shinpo memiliki pembaca yang tersebar di 322 lokasi di Jawa dan Madura, 77 lokasi di Sumatera, 25 lokasi di Sulawesi, 17 lokasi di Borneo, dan 8 lokasi di Papua. Shinpo juga didistribusikan ke berbagai negara lain, guna menjaga spirit dan idealisme kaum Tionghoa peranakan di luar Indonesia. Sehingga cukup banyak pelanggan Shinpo di negara Singapura, Malaya, Jepang, serta beberapa kota besar di Eropa seperti Amsterdam dan Denhaag. Shinpo pun menjelama menjadi salah satu media terbesar di Indonesia.


Lebih lanjut Ravando Lie mengungkapkan bahwa sedari awal berdirinya, Shinpo kerap menggunakan platformnya untuk mengkritik kebijakan diskriminatif dari pemerintah kolonial Belanda dan akibatnya Shinpo kerap bermasalah dengan pemerintah kolonial Belanda dan sempat beberapa kali harus diboikot. Sebagai peringatan, pemerintah kolonial menolak untuk memasang iklan di Shinpo yang membuat pembaca Shinpo tidak mengetahui pengumuman-pengumuman resmi pemerintah dan lima perusahaan besar Belanda pun menerapkan kebijakan serupa sehingga menghambat operasional Shinpo. Bila koran Belanda bisa meraup keuntungan sampai 60 persen dari iklan saja, maka Shinpo hanya 40 persen lantaran koran ini berulang kali diboikot terutama oleh perusahaan-perusahaan besar Eropa. Namun manajemen Shinpo seolah tidak peduli dengan berbagai hantaman tersebut dan terus menciptakan berbagai kontroversi yang membuat Belanda menjadi kebakaran jenggot. 


Meski sejak awal kemunculannnya Shinpo sudah menaruh simpati terhadap perjuangan kemerdekaan Indonesia, namun hingga 1924 perjuangan kelompok Bumiputera dan Tionghoa seperti berjalan sendiri-sendiri. Shinpo berulang kali menyoroti perlakuan diskriminatif yang kerap diterima oleh bangsa Bumiputera yang menurut Shinpo sudah sepatutnya bangsa Bumiputra memerintah diatas tanahnya sendiri. Pada 27 Desember 1924, Shinpo bahkan mulai mempublikasikan kisah Saijah dan Adidah, yakni tokoh utama dalam novel Max Havelaar karya Multatuli yang isinya menggambarkan kesewenang-wenangan kolonial Belanda, dalam format cerita bersambung dalam salah satu edisinya. Selain itu, Shinpo juga memuji hal-hal yang dilakukan pemimpin Bumiputera untuk kemajuan bangsanya. Sekalipun bangsa Tionghoa dan Bumiputera berulang kali terlibat dalam berbagai polemik, namun mereka tetap satu visi mengenai konsep pemerintahan sendiri bagi bangsa Bumiputera. 

Situasi tersebut perlahan mulai berubah seiring dengan kematian Sun Yat Sen yang diperingati dengan nama Twie Too Hwee dan diperingati di berbagai daerah di Indonesia. Menariknya, peringatan ini juga bagian dari kelompok Bumi Putera yang sebagian juga kagum dengan perjuangan Sun Yat Sen. Menurut Shinpo, peringatan tersebut menjadi momentum penting yang menyatukan Tionghoa dengan Bumiputera. Namun Belanda tidak menganggap kematian Sun Yat Sen tersebut sebagai momen penting. Upaya Belanda menghalang-halangi pelaksanaan upacara Twie Too Hwee ini menjadi bumerang bagi Belanda karena tindakan tersebut justru semakin mendekatkan kaum Tionghoa dengan Bumiputera. Shinpo menyadari bahwa bangsa Tionghoa sebenarnya memiliki begitu banyak persamaan dengan Bumiputera sehingga Shinpo menuliskan dalam terbitannya bahwa sebagai sesama bangsa Asia maka dua golongan tersebut harus memandang dari kacamata orang Asia. Sebisa mungkin keduanya harus bisa saling bekerjasama dan saling dukung dalam mencapai tujuan masing-masing. Menurut Shinpo, gerakan kaum Bumiputera untuk merdeka merupakan pergerakan yang patut dan wajar, terutama kalau berpegang pada asas keadilan dan kesetaraan.  Bangsa Tionghoa pun sepatutnya bersimpati dengan gerakan tersebut dan masing-masing golongan merupakan korban dari diskriminasi Belanda hingga keduanya memiliki tujuan yang sama untuk melenyapkan diskriminasi tersebut. 


Sementara Mediari Yulian Pramularsih dalam paparannya mengungkapkan bahwa pelopor pers nasional ialah Medan Priadji yang terbit pada tahun 1907 yang semula terbit sebagai mingguan pada tahun 1910 terbit sebagai harian dengan Pemimpin Redaksinya R.M.Tirto Adhi Soerjo. Sang Pemimpin Redaksi bahkan berani menulis tulisan-tulisan pedas terhadap pemerintah kolonial Belanda sehingga ia banyak mendapat kecaman dari pemerintah Belanda. Sepak terjang Medan Prijaji menjadi model pertama surat kabar pergerakan. Medan Prijaji juga menjadi pelopor dari genre jurnalisme yang kemudian dikenal dengan sebutan jurnalisme advokasi.


Berdirinya Boedi Oetomo merupakan organisasi pertama yang memperhatikan pentingnya penerbitan dan surat kabar sebagai penyambung suara organisasi. Hal ini seperti dilakukan oleh pers Belanda dan Melayu pada saat persiapan kongres pertama dan berdirinya Boedi Oetomo yang dimuat dalam surat kabar De Locomotief, Bataviaasch Niewsblad dan Jong Indie. Kemudian setelah berdirinya Sarekat Islam terbit beberapa surat kabar diantaranya Sinar Djawa di Semarang, Pantjaran Warta di Betawi dan Sarotama di Surakarta. Sarotama merupakan surat kabar asli Sarekat Islam yang terbit pada tahun 1913. Dengan terbitnya media pribumi merupakan salah satu bentuk perlawanan terhadap pemerintah Hindia Belanda. 


Namun demikian, menurut Mediari, Pers nasional Indonesia sering mengalami kesulitan yang dibuat oleh pemerintah kolonial (misalnya diberangus). Oleh karena itu, surat kabar Tionghoa menjadi salah satu sumber yang penting untuk mengetahui perkembangan pergerakan nasional Indonesia. Pers Peranakan Tionghoa bukan saja sebuah sumber penting bagi penulisan sejarah orang Tionghoa di Indonesia, melainkan juga dalam hal penulisan sejarah pergerakan nasional Indonesia. Hal ini dikarenakan pers peranakan Tionghoa mengikuti perkembangan pergerakan nasional sejak awal permulaan 


Penulis: Lilik Purwanti (Pamong Budaya Ahli Pertama Museum Benteng Vredeburg Yogyakarta)


facebook  twitter-x  whatsapp  


Bagaimana informasi yang disediakan website ini?
   

Bagaimana informasi yang disediakan website ini?