Resensi Buku "Suara Perempuan Korban Tragedi ‘65"

administrators 30 September 2025 08:08:59 26

Identitas Buku : 

Judul                           : Suara Perempuan Korban Tragedi ‘65

Pengarang                  : Ita F. Nadia

Penerbit                       : Glang Pres

Tahun terbit                 : 2007

Jumlah halaman         : 188

ISBN                           : 979-23-9982-8



Tahun 1965, merupakan situasi di mana politik Ir. Soekarno memanas. Pada masa itu, terkenal sebuah pemberontakan bernama G 30 S PKI atau Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia. Kegiatan tersebut dikabarkan telah membuat tujuh jenderal wafat setelah disiksa yang kemudian dilempar ke Lubang Buaya. Dan PKI, disebut-sebut sebagai dalang utama. Hal ini menimbulkan perselisihan di antara anggota PKI dengan anggota TNI Angkatan Udara hingga terjadilah pemberantasan PKI beserta sayapnya. Ratusan ribu nyawa melayang dalam sekejap tanpa memandang anak-anak, ibu hamil, bahkan lansia–selagi mereka dinyatakan terlibat dengan organisasi PKI.

 

Dalam buku ini Ita F Nadia cukup berani mengungkapkan atau menceritakan pengalaman 10 perempuan yang disebut sebagai “korban” tragedi 1965 pecahnya insiden G 30 S PKI. Perempuan pada masa Orde Baru digambarkan tidak lebih dari sosok Istri yang patuh dan Ibu yang berbakti. Sebagian besar wewenang politik diambil alih oleh laki-laki karena pada masa itu masih sangat kental akan sistem patriarki. Secara garis besar, para perempuan ini tidak terlibat secara langsung dengan PKI. Namun demikian, benar adanya bahwa mereka mengikutsertakan diri dalam gerakan ormas sayap kiri seperti GERWANI atau Gerakan Wanita Indonesia, BTI, Pemuda Rakyat, dan sisanya sekedar terseret tanpa tahu apa-apa. Contohnya, penari dari Bali, Ibu Darmi, yang baru mengetahui bahwa ia pentas di acara yang diselenggarakan PKI. Atau Ibu Rusminah, yang hanya menyajikan teh dan kudapan saat suaminya—seorang kader PKI—mengadakan rapat. Atau bahkan Yanti–usia 14 tahun–yang ditangkap setelah diajak temannya menjadi sukarelawan. Ketika para tentara datang menyergap, mereka hanya bisa dilanda kebingungan. Mereka ditangkap, dipenjara, dihinakan, dan disiksa baik fisik maupun mental. Meskipun pada akhirnya dibebaskan, namun cap sebagai “pelaku” pembunuhan jenderal masih terus melekat. Masyarakat setempat tidak mau menerima mereka. Para perempuan ini diusir. Mereka hidup berpindah-pindah untuk melanjutkan hidup berkali-kali dengan membawa label negatif.

 

Kelebihan buku ini terletak pada keahlian penulis yang mampu mengambil sudut pandang perempuan dalam insiden G 30 S PKI. Ita F. Nadia terkenal dengan karya-karyanya yang mengangkat isu-isu perempuan, dan dalam buku ini, ia menggunakan metode oral story untuk merekam suara perempuan. Suara Perempuan Korban ‘65 berhasil dikemasnya secara naratif. Buku ini membuat pembaca merasa simpati dan lebih melek lagi terhadap sisi sejarah dari sudut pandang perempuan. Namun, buku ini cenderung mengangkat cerita dari narasumber yang terkesan pasif dalam politik yang pada dasarnya tidak bersalah dan minim melibatkan perempuan yang benar-benar aktif di PKI. Hal ini dapat membatasi pemahaman pembaca yang hanya terpaku pada perempuan korban tindak kekerasan ‘65. Akan lebih baik jika penulis juga meletakkan pengalaman anak para jenderal yang terbunuh, seperti Amelia Achmad Yani, Catherine Pandjaitan, dan Ade Irma Suyani Nasution sebagai narasumber mengingat mereka juga sama-sama korban dan sama-sama perempuan. Akan tetapi, kembali lagi pada tujuan Ita F. Nadia menulis buku ini adalah untuk memberikan ruang sejarah bagi para perempuan korban ‘65 dan membersihkan nama mereka. Jika demikian, suara perempuan dari garis terdepan PKI tetap diperlukan agar tidak terkesan berat sebelah. Terlebih tidak ada kata penutup/kesimpulan di bagian akhir, kecuali kata pengantar di awal.

 

Buku ini sangat layak dibaca, terutama bagi pembaca yang menyukai perpaduan sejarah dengan karya sastra. Gaya bahasa dalam buku ini cenderung ringan, runtut, sederhana, namun tetap emosional dan mudah dipahami bahkan oleh pembaca yang awam politik sekalipun. Terdapat catatan kaki di bawahnya apabila memuat dialog bahasa daerah dan atau istilah-istilah yang krusial. Halamannya tidak terlalu tebal, hanya 188 halaman. Buku ini bisa dibaca habis tanpa jeda dalam waktu setengah hari.

 

 

Penulis : Dieny Permata Ainy                 

Editor   : Winarni & Lilik Purwanti

facebook  twitter-x  whatsapp  


Bagaimana informasi yang disediakan website ini?
   

Bagaimana informasi yang disediakan website ini?