Pabrik Senjata Demakijo: Jejak Kejayaan Produksi Senjata di Yogyakarta pada Masa Revolusi

administrators 21 Maret 2022 11:33:47 1848

Pada masa revolusi, jumlah ketersediaan senjata bagi para pejuang masih sangat minim. Senjata-senjata yang dipergunakan saat itu hanya berupa senjata hasil rampasan dari Jepang yang jumlahnya tidak sebanding dengan jumlah personil yang ada. Kurangnya jumlah ketersediaan senjata tentu menjadi permasalahan yang harus segera diselesaikan. Atas dasar permasalahan itulah, pimpinan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) kemudian mengupayakan tersedianya laboratorium militer guna menambah ketersediaan senjata dan mempermudah kinerja para pejuang untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia.

Kapten Kavaleri Suryasumarno dengan mengatasnamakan Oerip Soemohardjo selaku Kepala Staf Umum (KSU) segera mengirim surat kepada seorang ahli fisika bernama Herman Johannes yang kala itu tengah berada di Jakarta. Surat yang dikirimkan Kavaleri Suryasumarno kepada Herman Johannes berhasil diselundupkan ke Jakarta oleh Osman Abdullah, seorang bekas guru teman Herman Johannes dan berhasil diterima pada 4 November 1946. Setelah menerima surat tersebut, Herman Johannes segera bergegas datang ke Yogyakarta untuk membangun laboratorium militer sebagaimana mandat yang disampaikan oleh Kapten Kavaleri Suryasumarno mewakili Oerip Soemohardjo. 

Sesampainya di Yogyakarta, langkah awal yang dilakukan Herman Johannes adalah menyiapkan alat-alat dan bahan baku pembuatan senjata serta tenaga kerja yang akan membantu proses pembangunan laboratorium militer. Alat-alat dan bahan baku pembuatan senjata berhasil diperoleh Herman Johannes berkat suplai dari laboratorium Sekolah Menengah Tinggi di Kotabaru sedangkan tenaga kerja berhasil didatangkan dari sebuah pabrik senjata di Gunung Sasuruh yang terletak di sekitar Bandung, Jawa Barat.  

Berdirinya laboratorium militer di Yogyakarta tidaklah terlepas dari peranan sebuah pabrik senjata di daerah Kabupaten Sleman. Pabrik yang dimaksud ialah pabrik senjata Demakijo. Pabrik ini menempati bangunan bekas pabrik gula yang sudah tidak beroperasi sejak masa pendudukan Jepang. Pada saat proses pembangunan laboratorium militer di Yogyakarta, pabrik senjata Demakijo berfungsi sebagai tempat penyimpanan alat-alat seperti trekbom, mortir, dan tommy-gun. Pabrik yang mulai beroperasi pada tahun 1946 ini merupakan pindahan pabrik senjata yang berada di Bandung. Pada saat itu, Mayor Ario Damar dari SAD IV menjabat sebagai pemimpin pabrik. Sementara itu pemimpin laboratorium dijabat oleh Letnan Barnas dibantu oleh Herman Johannes. 

 

Diorama kegiatan para pekerja di pabrik senjata Demakijo pada masa revolusi. (Sumber: Panel diorama 27, Ruang Diorama 2, Museum Benteng Vredeburg Yogyakarta, 15 Maret 2022)

Beberapa jenis senjata telah berhasil diproduksi oleh pabrik yang berlokasi di wilayah Sleman Barat seperti pistol, granat “gombyok”, mortir, dan stegun. Dari kesemuanya, granat “gombyok” menjadi jenis senjata paling populer. Jenis senjata ini terbuat dari besi cor, tali rami, ranjau anti personil, dan bom molotov. Disebut granat “gombyok” karena granat tersebut bentuknya benar-benar bergombyok seperti ekor kuda. Jenis senjata tersebut sengaja didesain sedemikian rupa agar ujung granat yang berdenoator mampu menjatuhkan ujungnya tepat menyentuh sasaran. 

Tidak hanya menghasilkan senjata, pabrik ini juga turut memodifikasi senjata-senjata hasil rampasan yang mungkin sudah tidak dipergunakan lagi. Bahan-bahan yang digunakan untuk memodifikasi senjata-senjata hasil rampasan juga terkesan sederhana seperti bekas tiang kabel telepon atau tiang kabel listrik sebagai laras untuk meriam maupun bekas pipa saluran air untuk laras senapan. Hasil produksi dan modifikasi dari pabrik tersebut sangat berguna dan berperan penting dalam perjuangan pada masa revolusi. 

Namun kegiatan pabrik senjata Demakijo dalam menghasilkan dan memodifikasi senjata harus berakhir pada tahun 1948 akibat berlangsungnya Agresi Militer Belanda II. Meskipun kegiatan pabrik senjata Demakijo hanya berlangsung selama dua tahun saja, namun perjalanan singkat tersebut telah menjadi bukti keberanian para pejuang untuk senantiasa menumpas perlawanan kaum barat yang berusaha menguasai tanah istimewa Yogyakarta serta menjadi pertanda bahwa kejayaan dunia militer Indonesia belumlah berakhir meski suasana negeri masih tak kunjung pasti pada masa revolusi.  

Referensi Sumber Bacaan:

Harjiyo, Bantu, 50 Tahun ABRI, Jakarta: Markas Besar Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, Pusat Sejarah dan Tradisi ABRI, 1995.

Moehkardi, Akademi Militer Yogya dalam Perjuangan Fisik 1945 sampai dengan 1949, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2019.

Sulistya, V. Agus, Buku Panduan Museum Benteng Vredeburg Yogyakarta, Yogyakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Kebudayaan Museum Benteng Vredeburg Yogyakarta, 2020. 


Penulis: Brenda Hayuning Zaenardi mahasiswa magang Sejarah UGM. 




Bagaimana informasi yang disediakan website ini?
   

Bagaimana informasi yang disediakan website ini?