Sejarah Museum Benteng Vredeburg
Pasca Perjanjian Giyanti, secara bertahap
Sultan Hamengku Buwana I bersama rakyatnya membangun ibu kota kerajaan
Ngayogyakarta Hadiningrat (Yogyakarta) di dusun Pacethokan, hutan Beringan
(lokasi kraton saat ini). Sementara proyek pembangunan berlangsung, Sultan
Hamengku Buwana I tinggal di Pesanggrahan Ambarketawang, Gamping, selama
kurang-lebih satu tahun. Bersamaan dengan proyek pembangunan kompleks istana di
Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, Kompeni VOC juga bermaksud untuk
membangun benteng garnisun yang berfungsi untuk mengantisipasi potensi
meletusnya peperangan seperti yang terjadi pra Perjanjian Giyanti 1755. Pembangunan
benteng garnisun dimulai pada bulan Desember tahun 1765 atas permintaan Kompeni VOC dengan
dalih untuk menjaga keamanan keraton. Padahal, maksud sebenarnya dari
keberadaan benteng ini adalah untuk memudahkan pengawasan pihak Kompeni VOC terhadap
segala kegiatan yang dilakukan pihak keraton Yogyakarta. Cornelis Donkel
(1755-1761) selaku residen pertama di Yogyakarta, mengadakan kesepakatan dengan
Sri Sultan Hamengku Buwono I, bahwa Sultan akan memberikan bantuan kayu dan
tenaga kerja.
Sebelumnya, benteng garnisun VOC menempati komplek bangunan yang belum dapat
disebut dengan “benteng”, karena hanya terdapat satu bangunan yang terbuat dari
kayu dan bambu, sama sekali tidak ada bangunan yang terbuat dari batu bata atau
batu.
Van
Ossenberch, pengganti Nicolas Hartingh sebagai Gubernur Pantai Timur-Laut Jawa,
menyampaikan dalam suratnya tertanggal 13 Mei 1765, bahwa pada tahun-tahun
tersebut proses pembangunan benteng masih dalam proses pelaksanaan seturut
gambar rancang-bangunan Frans Haag. Memasuki tahun 1771, meskipun telah
mendapatkan bantuan berupa material bangunan, tetapi proyek pembangunan benteng
Kompeni VOC di Yogyakarta tidak kunjung dapat diselesaikan. Empat tahun
kemudian, proses pembangunan benteng di Yogyakarta belum juga memperlihatkan
perkembangan yang signifikan, bahkan dapat dikatakan cenderung melambat.
Menurut laporan Kompeni VOC, pada tahun 1775 pembangunan benteng Yogyakarta
dinilai tidak progresif tersebab kekurangan tenaga kerja. Sistem kerja wajib
dari Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat atau lazim disebut kerig aji, yang
menjadi tumpuan utama pembangunan benteng.
Kompeni VOC di Yogyakarta, kala itu tengah
diarahkan untuk menyelesaikan proyek pembangunan komponen-komponen penting
istana Ngayogyakarta Hadiningrat, salah duanya ialah Taman Sari dan benteng
Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Memasuki dekade 1780-an, menurut laporan
J. Siberg, Gubernur Pantai Timur-Laut Jawa (1780-1787), pada tahun 1785 J. Sieberg
meresmikan keberadaan benteng kompeni VOC di Yogyakarta. Selanjutnya benteng
ini diberi nama "Rustenburg" yang berarti benteng peristirahatan. J.
Siberg optimis bahwa pembangunan benteng Rustenberg bermutu tinggi dapat
diselesaikan sesegera mungkin. Hal ini dikarenakan sudah adannya bantuan yang
diberikan oleh J. Sieberg, dari mulai meminjamkan uang sejumlah 10.000 real
kepada Sri Sultan Hamengku Buwana I sebagai pengganti material bahan bangunan.
Akan tetapi, dalam laporannya pada tahun 1787, Siberg menginformasikan
kepada penggantinya, yakni Jan Greeve, bahwa sebenarnya proses pembangunan
benteng tidak berjalan lancar. Siberg sangat berharap bahwa benteng dapat
diselesaikan dalam jangka waktu dua tahun lagi. Satu tahun berselang, Greeve
mendapati bahwa benteng Yogyakarta telah dalam keadaan bersih dan teratur,
walaupun masih memerlukan beberapa perbaikan. Benteng Rustenberg di Yogyakarta
telah mendekati penyelesaian terakhir pada tahun 1790.
Selama pembangunan benteng Rustenberg berlangsung, Sultan HB
I selalu menengok untuk memastikan benteng terjaga dengan baik. setelah
pembangunan selesai, tempat penjagaan yang berjumlah empat ditiap sudutnya oleh
sultan masing-masing diberi nama. Jayawisesa (barat laut), Jayaprayitna
(tenggara), Jayapurusa (timur laut), dan Jayaprakosaningprang (barat
daya).
Pada tanggal 31 Desember 1799
VOC bubar, kekuasaan selanjutnya berada dibawah Bataafsche Republiek (Republik
Bataf). Pada perkembangan selanjutnya tahun 1808-1811, benteng dikuasai oleh Koninklijk
Holland (Kerajaan Belanda) dibawah Gubernur Daendels. Nama benteng oleh
Daendels diganti menjadi “Vredeburg”, yang berarti benteng perdamaian, Hal ini
sebagai wujud simbolis manifestasi perdamaian antara pihak Belanda dan Keraton.
Perubahan nama ini terjadi setelah benteng di pugar dari kerusakan akibat gempa
yang terjadi pada tahun 1867.
Secara historis, sejak awal
pembangunan hingga saat ini, terjadi beberapa kali perubahan status kepemilikan
dan fungsi benteng, yang antara lain:
- Tahun 1756-1765, pada awal pembangunannya status tanah tetap atas
nama milik Keraton, tetapi penggunaannya di bawah pengawasan Nicolaas
Harting, Gubernur Direktur wilayah Patai Utara Jawa.
- Tahun 1765-1781, status tanah secara formal tetap milik Keraton,
tetapi penguasaan benteng dan tanahnya dipegang oleh Belanda di bawah
Gubernur W.H. Ossenberg.
- Tahun 1781-1788, status tanah tetap milik keraton, VOC meresmikan
keberadaan benteng dan menamakannya Rustenburg, di bawah Gubernur Johannes
Sieberg.
- Tahun 1788-1799, status tanah tetap milik keraton, kemudian pada
masa ini, benteng digunakan secara sempurna oleh VOC.
- Tahun 1799-1807, status tanah secara formal tetap milik Keraton,
dan penggunaan benteng secara de facto menjadi milik pemerintah Belanda di
bawah pemerintahan Gubernur Van De Burg.
- Tahun 1807-1811, secara formal tanah tetap milik Keraton, dan
penggunaan benteng secara de facto menjadi milik
pemerintah Belanda di bawah pemerintahan Gubernur Daendels.
- Tahun 1811-1816, secara yuridis benteng tetap milik Keraton,
kemudian secara de facto benteng dikuasai oleh
pemerintahan Inggris di bawah pimpinan Jenderal Raffles.
- Tahun 1816-1942, sattus tanah tetap berada pada kepemilikan
Keraton, dan secara de facto dipegang oleh pihak Belanda,
sampai menyerahnya Belanda di tangan Jepang dan benteng ini mulai dikuasai
penuh oleh pihak Jepang, yang ditandai dengan penandatanganan perjanjian
Kalijati di Jawa Barat, Maret 1942.
- Tahun 1942-1945, satus tanah tetap milik Keraton, tetapi
secara de facto penguasaan berada di tangan Jepang
sebagai markas Kempetei atau polisi jepang, gudang mesiu, dan rumah
tahanan bagi orang-orang Belanda dan Indo-Belanda serta kaum politisi RI
yang menentang Jepang.
- Tahun 1945-1965, status tanah tetap milik Keraton, setelah
proklamasi kemerdekaan RI pada tahun 1945, benteng diambil alih oleh
instansi militer RI. Dilanjutkan dengan diambil alih kembali oleh pihak
Belanda tahun 1948 karena adanya peristiwa Agresi Militer Belanda II, dan
akhirnya direbut kembali oleh Indonesia setelah adanya peristiwa Serangan
Umum 1 Maret 1949 dan pengelolaan benteng ditangani oleh APRI (Angkatan
perang Republik Indonesia).
- Tahun 1965-1976, status tanah tetap milik Keraton, benteng
Vredeburg dimanfaatkan sebagai asrama Batalyon 403 yang dibentuk sejak
bulan Agustus 1965.
- Tahun 1976-1992, dalam periode ini, satus pengelolaan benteng
diserahkan kembali pada pemerintahan Yogyakarta oleh pihak Hankam, dan
pada tanggal 9 Agustus 1980 diadakan perjanjian tentang pemanfaatan
bangunan bekas benteng Vredeburg antara Sri Sultan HB IX dengan Mendikbud
DR. Daud Jusuf. Hal ini dikuatkan oleh pernyataan dari Mendikbud Prof. Dr.
Nugroho Notosusanto tanggal 5 November 1984 bahwa bekas benteng Vredeburg
ini akan difungsikan sebagai sebuah museum. Tahun 1985, Sri Sultan HB IX
mengijinkan diadakannya perubahan bangunan sesuai dengan kebutuhannya, dan
tahun 1987, museum benteng Vredeburg baru dibuka untuk umum. Mengenai
status tanah pada periode ini tetap milik Keraton.
- Tahun 1992 sampai sekarang, berdasarkam SK Mendikbud RI Prof. Dr.
Fuad Hasan No. 0475/0/1992 tanggal 23 November 1992, secara resmi Museum
Benteng Vredeburg menjadi Museum Khusus Perjuangan Nasional dengan nama
Museum Benteng Vredeburg Yoyakarta yang menempati tanah seluas 46.574 m
persegi. Kemudian tanggal 5 September 1997, dalam rangka peningkatan
fungsionalisasi museum, Museum Benteng Vredeburg Yogyakarta mendapat
limpahan untuk mengelola museum Perjuangan Yogyakarta di Brontokusuman
Yogyakarta berdasarkan SK Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Nomor: KM.
48/OT. 001/MKP/2003 tanggal 5 Desember 2003.
- Pada tanggal 23 November 1992, berdasarkan
SK Mendikbud RI Prof. Dr. Fuad Hasan No. 0475/0/1992, secara resmi Museum
Benteng Vredeburg menjadi Museum Khusus Perjuangan Nasional dengan nama
Museum Benteng Vredeburg Yoyakarta yang menempati tanah seluas 46.574 m
persegi. Kemudian tanggal 5 September 1997, dalam rangka peningkatan
fungsionalisasi museum, Museum Benteng Vredeburg Yogyakarta mendapat
limpahan untuk mengelola museum Perjuangan Yogyakarta di Brontokusuman
Yogyakarta berdasarkan SK Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Nomor: KM.
48/OT. 001/MKP/2003 tanggal 5 Desember 2003.
Pada tanggal 14 Juni 2022, berdasarkan Peraturan
Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, Dan Teknologi Republik Indonesia Nomor
28 Tahun 2022, secara resmi Museum Benteng Vredeburg Yogyakarta dikelola oleh
Museum dan Cagar Budaya (IHA/ Indonesian Heritage Agency) yang merupakan badan
layanan Umum dibawah dibawah naungan Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian
Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Tehnologi.
Bagaimana informasi yang disediakan website ini?
- Berita
- Kegiatan
-
Fasilitas
-
Data Kelembagaan
- Perjanjian Kinerja 2018
- Perjanjian Kinerja 2019
- LAKIP
- Indikator Kinerja 2019
- Perjanjian Kinerja 2020
- Perjanjian Kinerja 2021
- Indikator Kinerja 2021
- Undang Undang PP PerMen
- manajemen pppk PP Nomor 49 Tahun 2018
- Permendikbud Nomor 11 Tahun 2015 tentang Organisasi dan Tata Kerja Museum Benteng Vredeburg
- Permendikbud Nomor 39 Tahun 2016 tentang Rincian Tugas Museum Benteng Vredeburg Yogyakarta
- PP 11 2017 manajemen ASN
- UU 5 2014 ASN
- Permendikbud Nomor 12 Tahun 2019 tentang Kelas Jabatan (Permendikbud Peta Jabatan 2019)
- Kepegawaian
- Profil MBVY
- WBK
- Standar Operasional Prosedur
- Pameran
- whistleblowing system
- RENSTRA
- Materi
-
Kunjungan
- SOP Pelayanan Covid-19
- Publikasi
- Benturan Kepentingan
- Perjanjian Kinerja 2022
- Indikator Kinerja 2022
- Perjanjian Kinerja 2023
- Aduan Masyarakat
- Layanan Ramah Kelompok Rentan