Sejarah Singkat

administrators 15 Mei 2019 00:00:00 65590

Sejarah Museum Benteng Vredeburg

Pasca Perjanjian Giyanti, secara bertahap Sultan Hamengku Buwana I bersama rakyatnya membangun ibu kota kerajaan Ngayogyakarta Hadiningrat (Yogyakarta) di dusun Pacethokan, hutan Beringan (lokasi kraton saat ini). Sementara proyek pembangunan berlangsung, Sultan Hamengku Buwana I tinggal di Pesanggrahan Ambarketawang, Gamping, selama kurang-lebih satu tahun. Bersamaan dengan proyek pembangunan kompleks istana di Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, Kompeni VOC juga bermaksud untuk membangun benteng garnisun yang berfungsi untuk mengantisipasi potensi meletusnya peperangan seperti yang terjadi pra Perjanjian Giyanti 1755. Pembangunan benteng garnisun dimulai pada bulan Desember tahun 1765 atas permintaan Kompeni VOC dengan dalih untuk menjaga keamanan keraton. Padahal, maksud sebenarnya dari keberadaan benteng ini adalah untuk memudahkan pengawasan pihak Kompeni VOC terhadap segala kegiatan yang dilakukan pihak keraton Yogyakarta. Cornelis Donkel (1755-1761) selaku residen pertama di Yogyakarta, mengadakan kesepakatan dengan Sri Sultan Hamengku Buwono I, bahwa Sultan akan memberikan bantuan kayu dan tenaga kerja. Sebelumnya, benteng garnisun VOC menempati komplek bangunan yang belum dapat disebut dengan “benteng”, karena hanya terdapat satu bangunan yang terbuat dari kayu dan bambu, sama sekali tidak ada bangunan yang terbuat dari batu bata atau batu.

Van Ossenberch, pengganti Nicolas Hartingh sebagai Gubernur Pantai Timur-Laut Jawa, menyampaikan dalam suratnya tertanggal 13 Mei 1765, bahwa pada tahun-tahun tersebut proses pembangunan benteng masih dalam proses pelaksanaan seturut gambar rancang-bangunan Frans Haag. Memasuki tahun 1771, meskipun telah mendapatkan bantuan berupa material bangunan, tetapi proyek pembangunan benteng Kompeni VOC di Yogyakarta tidak kunjung dapat diselesaikan. Empat tahun kemudian, proses pembangunan benteng di Yogyakarta belum juga memperlihatkan perkembangan yang signifikan, bahkan dapat dikatakan cenderung melambat. Menurut laporan Kompeni VOC, pada tahun 1775 pembangunan benteng Yogyakarta dinilai tidak progresif tersebab kekurangan tenaga kerja. Sistem kerja wajib dari Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat atau lazim disebut kerig aji, yang menjadi tumpuan utama pembangunan benteng.

Kompeni VOC di Yogyakarta, kala itu tengah diarahkan untuk menyelesaikan proyek pembangunan komponen-komponen penting istana Ngayogyakarta Hadiningrat, salah duanya ialah Taman Sari dan benteng Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Memasuki dekade 1780-an, menurut laporan J. Siberg, Gubernur Pantai Timur-Laut Jawa (1780-1787), pada tahun 1785 J. Sieberg meresmikan keberadaan benteng kompeni VOC di Yogyakarta. Selanjutnya benteng ini diberi nama "Rustenburg" yang berarti benteng peristirahatan. J. Siberg optimis bahwa pembangunan benteng Rustenberg bermutu tinggi dapat diselesaikan sesegera mungkin. Hal ini dikarenakan sudah adannya bantuan yang diberikan oleh J. Sieberg, dari mulai meminjamkan uang sejumlah 10.000 real kepada Sri Sultan Hamengku Buwana I sebagai pengganti material bahan bangunan. Akan tetapi, dalam laporannya pada tahun 1787, Siberg menginformasikan kepada penggantinya, yakni Jan Greeve, bahwa sebenarnya proses pembangunan benteng tidak berjalan lancar. Siberg sangat berharap bahwa benteng dapat diselesaikan dalam jangka waktu dua tahun lagi. Satu tahun berselang, Greeve mendapati bahwa benteng Yogyakarta telah dalam keadaan bersih dan teratur, walaupun masih memerlukan beberapa perbaikan. Benteng Rustenberg di Yogyakarta telah mendekati penyelesaian terakhir pada tahun 1790.

Selama pembangunan benteng Rustenberg berlangsung, Sultan HB I selalu menengok untuk memastikan benteng terjaga dengan baik. setelah pembangunan selesai, tempat penjagaan yang berjumlah empat ditiap sudutnya oleh sultan masing-masing diberi nama. Jayawisesa (barat laut), Jayaprayitna (tenggara), Jayapurusa (timur laut), dan Jayaprakosaningprang (barat daya). Pada tanggal 31 Desember 1799 VOC bubar, kekuasaan selanjutnya berada dibawah Bataafsche Republiek (Republik Bataf). Pada perkembangan selanjutnya tahun 1808-1811, benteng dikuasai oleh Koninklijk Holland (Kerajaan Belanda) dibawah Gubernur Daendels. Nama benteng oleh Daendels diganti menjadi “Vredeburg”, yang berarti benteng perdamaian, Hal ini sebagai wujud simbolis manifestasi perdamaian antara pihak Belanda dan Keraton. Perubahan nama ini terjadi setelah benteng di pugar dari kerusakan akibat gempa yang terjadi pada tahun 1867.

Secara historis, sejak awal pembangunan hingga saat ini, terjadi beberapa kali perubahan status kepemilikan dan fungsi benteng, yang antara lain:

  1. Tahun 1756-1765, pada awal pembangunannya status tanah tetap atas nama milik Keraton, tetapi penggunaannya di bawah pengawasan Nicolaas Harting, Gubernur Direktur wilayah Patai Utara Jawa.
  2. Tahun 1765-1781, status tanah secara formal tetap milik Keraton, tetapi penguasaan benteng dan tanahnya dipegang oleh Belanda di bawah Gubernur W.H. Ossenberg.
  3. Tahun 1781-1788, status tanah tetap milik keraton, VOC meresmikan keberadaan benteng dan menamakannya Rustenburg, di bawah Gubernur Johannes Sieberg.
  4. Tahun 1788-1799, status tanah tetap milik keraton, kemudian pada masa ini, benteng digunakan secara sempurna oleh VOC.
  5. Tahun 1799-1807, status tanah secara formal tetap milik Keraton, dan penggunaan benteng secara de facto menjadi milik pemerintah Belanda di bawah pemerintahan Gubernur Van De Burg.
  6. Tahun 1807-1811, secara formal tanah tetap milik Keraton, dan penggunaan benteng secara de facto menjadi milik pemerintah Belanda di bawah pemerintahan Gubernur Daendels.
  7. Tahun 1811-1816, secara yuridis benteng tetap milik Keraton, kemudian secara de facto benteng dikuasai oleh pemerintahan Inggris di bawah pimpinan Jenderal Raffles.
  8. Tahun 1816-1942, sattus tanah tetap berada pada kepemilikan Keraton, dan secara de facto dipegang oleh pihak Belanda, sampai menyerahnya Belanda di tangan Jepang dan benteng ini mulai dikuasai penuh oleh pihak Jepang, yang ditandai dengan penandatanganan perjanjian Kalijati di Jawa Barat, Maret 1942.
  9. Tahun 1942-1945, satus tanah tetap milik Keraton, tetapi secara de facto penguasaan berada di tangan Jepang sebagai markas Kempetei atau polisi jepang, gudang mesiu, dan rumah tahanan bagi orang-orang Belanda dan Indo-Belanda serta kaum politisi RI yang menentang Jepang.
  10. Tahun 1945-1965, status tanah tetap milik Keraton, setelah proklamasi kemerdekaan RI pada tahun 1945, benteng diambil alih oleh instansi militer RI. Dilanjutkan dengan diambil alih kembali oleh pihak Belanda tahun 1948 karena adanya peristiwa Agresi Militer Belanda II, dan akhirnya direbut kembali oleh Indonesia setelah adanya peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949 dan pengelolaan benteng ditangani oleh APRI (Angkatan perang Republik Indonesia).
  11. Tahun 1965-1976, status tanah tetap milik Keraton, benteng Vredeburg dimanfaatkan sebagai asrama Batalyon 403 yang dibentuk sejak bulan Agustus 1965.
  12. Tahun 1976-1992, dalam periode ini, satus pengelolaan benteng diserahkan kembali pada pemerintahan Yogyakarta oleh pihak Hankam, dan pada tanggal 9 Agustus 1980 diadakan perjanjian tentang pemanfaatan bangunan bekas benteng Vredeburg antara Sri Sultan HB IX dengan Mendikbud DR. Daud Jusuf. Hal ini dikuatkan oleh pernyataan dari Mendikbud Prof. Dr. Nugroho Notosusanto tanggal 5 November 1984 bahwa bekas benteng Vredeburg ini akan difungsikan sebagai sebuah museum. Tahun 1985, Sri Sultan HB IX mengijinkan diadakannya perubahan bangunan sesuai dengan kebutuhannya, dan tahun 1987, museum benteng Vredeburg baru dibuka untuk umum. Mengenai status tanah pada periode ini tetap milik Keraton.
  13. Tahun 1992 sampai sekarang, berdasarkam SK Mendikbud RI Prof. Dr. Fuad Hasan No. 0475/0/1992 tanggal 23 November 1992, secara resmi Museum Benteng Vredeburg menjadi Museum Khusus Perjuangan Nasional dengan nama Museum Benteng Vredeburg Yoyakarta yang menempati tanah seluas 46.574 m persegi. Kemudian tanggal 5 September 1997, dalam rangka peningkatan fungsionalisasi museum, Museum Benteng Vredeburg Yogyakarta mendapat limpahan untuk mengelola museum Perjuangan Yogyakarta di Brontokusuman Yogyakarta berdasarkan SK Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Nomor: KM. 48/OT. 001/MKP/2003 tanggal 5 Desember 2003.
  14. Pada tanggal 23 November 1992, berdasarkan SK Mendikbud RI Prof. Dr. Fuad Hasan No. 0475/0/1992, secara resmi Museum Benteng Vredeburg menjadi Museum Khusus Perjuangan Nasional dengan nama Museum Benteng Vredeburg Yoyakarta yang menempati tanah seluas 46.574 m persegi. Kemudian tanggal 5 September 1997, dalam rangka peningkatan fungsionalisasi museum, Museum Benteng Vredeburg Yogyakarta mendapat limpahan untuk mengelola museum Perjuangan Yogyakarta di Brontokusuman Yogyakarta berdasarkan SK Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Nomor: KM. 48/OT. 001/MKP/2003 tanggal 5 Desember 2003.

Pada tanggal 14 Juni 2022, berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, Dan Teknologi Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2022, secara resmi Museum Benteng Vredeburg Yogyakarta dikelola oleh Museum dan Cagar Budaya (IHA/ Indonesian Heritage Agency) yang merupakan badan layanan Umum dibawah dibawah naungan Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Tehnologi. 

facebook  twitter-x  whatsapp  

Bagaimana informasi yang disediakan website ini?
   

Bagaimana informasi yang disediakan website ini?