Bersuara dalam Diam, Menggemakan Bara Bangsa

administrators 31 Mei 2022 13:10:53 6027


Sikap memberontak terhadap pemerintah kolonial Hindia Belanda marak terjadi. Apalagi setelah ditetapkannya kebijakan Sistem Tanam Paksa oleh van den Bosch pada 1830-an. Hal ini terjadi karena sikap pemerintah kolonial Hindia Belanda yang dinilai telah melanggar batas-batas kemanusiaan dalam mengontrol kebijakan yang dijalankan. Pemberontakan  terhadap pemerintah kolonial bertujuan untuk menegakkan keadilan dan memanusiakan manusia khususnya untuk para bumiputra yang tertindas. Salah satu bentuk pemberontakan yang diluncurkan adalah karya sastra. Karya sastra dianggap ampuh untuk menyindir kekuasaan pemerintahan kolonial pada masa itu. Kebebasan bersuara yang dibatasi saat itu mendorong para penulis membuat karya sastra, baik berupa puisi, cerpen, novel, maupun artikel dalam majalah menjadi alat pemberontakan bawah tanah. Mereka menuangkan gagasan dalam lembaran kertas dan memberi nada-nada yang tersirat tentang kebobrokan pemerintah kolonial. Namun, sesuatu yang melawan pemerintah pasti akan menerima konsekuensinya. Banyak penulis yang berakhir dibui karena karyanya terbukti melawan pemerintah kolonial Hindia Belanda.

Banyak karya sastra fenomenal yang dikenal atas keberaniannya mengritik pemerintah kolonial. Diantaranya novel Max Havelaar dan artikel Als ik eens Nederlander was (Seandainya aku seorang Belanda).  Kedua karya itu mewakili suara para bumiputra yang tertindas oleh pemerintah kolonial. Max Havelaar merupakan novel karya Eduard Douwes Dekker dengan nama pena Multatuli. Novel ini banyak bercerita tentang tindak kesewenang-wenangan pejabat kolonial terhadap kaum bumiputra dengan dalih menjalankan kebijakan. Douwes Dekker berkisah dengan latar belakangnya sebagai pegawai pemerintah kolonial Hindia Belanda. Douwes Dekker melihat bahwa sistem yang dilakukan di Hindia Belanda tidak benar dan melampaui batas. Melalui karya ini, Beliau mengritik tindak kesewenang-wenangan pejabat kolonial kepada rakyat khususnya eksploitasi kepada bumiputra yang dibungkus dalam tulisan sastra. Kemudian artikel Als ik eens Nederlander was, artikel karya Ki Hajar Dewantara dengan nama pena R.M. Soewardi Soerjaningrat. Artikel ini awalnya dimuat dalam surat kabar De Expres Melajoe pada tanggal 13 Juni 1913. Karya ini dilatarbelakangi oleh peristiwa pesta perayaaan 100 tahun Kemerdekaan Belanda yang menggunakan dana dari penarikan sumbangan terhadap kaum bumiputra. Lagi-lagi sikap kesewenang-wenangan pemerintah kolonial merugikan masyarakat bumiputra. Ki Hajar Dewantara berpendapat pemerintah kolonial bersenang-senang di atas penderitaan daerah koloni. Keadaan yang kontras ini menyulutkan api serta mempertanyakan di mana letak keadilan itu berada. 

Aksi pemberontakan bawah tanah ini membuat wajah masyarakat kolonial di Hindia Belanda berangsur-angsur berubah. Hal ini terjadi karena masyarakat makin sadar perlunya penegakan keadilan. Episode Saidjah-Adinda dalam novel Max Havelaar merupakan gambaran bagaimana kondisi kesewenang-wenangan pemerintah kolonial terhadap bumiputra. Stratifikasi sosial yang tak ubah sebagai kasta masyarakat kian merenggut hak kaum rendah dan menguntungkan kaum tinggi. Sikap masyarakat yang kontra dengan pemerintah kolonial juga tersurat pada cerita kiasan dalam penggalan episode Saidjah-Adinda di novel Max Havelaar.

“Di Cilangkahan, dia membeli perahu nelayan dan, setelah berlayar selama dua hari, tiba di Lampung, tempat para pemberontak sedang menentang pemerintahan Belanda.” (Multatuli, 2018: 397).

Penggalan di atas menunjukkan gambaran sikap masyarakat yang berani mengambil langkah tegas dengan melakukan pemberontakan secara fisik kepada pemerintah kolonial. 

Karya Als ik eens Nederlander was lebih menyoroti opini Ki Hajar Dewantara yang tidak setuju dengan pemungutan sumbangan dana bumiputra yang dilakukan pemerintah kolonial untuk merayakan 100 tahun Kemerdekaan Belanda. Ki Hajar Dewantara melontarkan sindiran keras kepada mereka-mereka yang hidup mulia di atas penderitaan para bumiputra. Tulisan ini menumbuhkan sikap patriotis dan nasionalis bangsa Indonesia. Sikap patriotis dapat dilihat dari membela yang benar walaupun harus mengalami konsekuensi yang berat. Sikap nasionalis tercipta dari kemauan bangsa Indonesia untuk bebas dari belenggu pemerintah kolonial Hindia Belanda. Hal ini termasuk dalam unsur pembentuk masyarakat yang kontradiktif terhadap pemerintah kolonial. Tulisan-tulisan ini mengubah pandangan kaum bumiputra yang dulunya tidak berani menyuarakan haknya menjadi berani bersikap aktif untuk membela hak-haknya yang tertindas serta menolak tindakan yang sewenang-wenang dari para pejabat kolonial yang serakah. Masyarakat kolonial baru memperjuangkan hak yang pantas untuk diperjuangkan. Mereka memiliki tujuan utuk lepas dari genggaman pemerintah kolonial dan membentuk kesatuan bangsa, Indonesia.

Referensi bacaan:

Multatuli. Max Havelaar. 1860. Terjemahan oleh Ingrid Dwijani Nimpoeno. Bandung: PT Mizan Pustaka. (2018).

R.M. Soewardi Soerjaningrat. “Als ik eens Nederlander was...” Dijilid dalam Vlugschrift No.1. Bandung: Eerste Bandoengsche Publicatie Maatschappij. (1913).

Penulis: Pradipta Berliana Savitri


facebook  twitter-x  whatsapp  


Bagaimana informasi yang disediakan website ini?
   

Bagaimana informasi yang disediakan website ini?