Suryopranoto: Seorang Ningrat Pembela Rakyat

administrators 08 April 2022 13:25:49 2731


“Kaum Buruh harus memiliki kebebasan dan persamaan, mereka berhak bersuara tentang segala tindakan kaum kapitalis sehubungan dengan dirinya. Kami tahu persis bahwa kapitalisme akan hancur jika tidak ada buruh. Kami juga tahu benar bahwa modal hanyalah hasil akumulasi keluhan dan erangan kaum buruh” 

Demikian orasi lantang Suryopranoto, kakak kandung dari Ki Hadjar Dewantara ini ketika memimpin aksi pemogokan buruh di Pabrik Gula sekitar Yogyakarta pada 20 Agustus 1920. Pemogokan yang pertama kali terjadi di Indonesia itu bermula dari Pabrik Gula Padokan Yogyakarta, kemudian menyusul Pabrik Gula Nglungge Delanggu, Sala, Jatiroto, hingga meluas di seluruh Jawa. Secara bergiliran, Suryopranoto  memimpin sendiri dan mengobarkan semangat para buruh pabrik gula dari satu tempat pemogokan ke tempat pemogokan lainnya, hingga oleh Pers Belanda ia diberikan gelar ‘De Stakingskoning’ (Si Raja Pemogokan). Pemogokan ini nyatanya membuahkan hasil dengan naiknya upah sebesar 50%, dari yang semula £10 menjadi £15. 

Aksi pemogokan ini diawali dari berdirinya organisasi serikat buruh dengan nama Personeel Fabrieks Bond (PFB), yang berafiliasi dengan Sarekat Islam. PFB yang dipelopori oleh Suryopranoto ini tercatat sebagai Sarekat Buruh Pertama yang didirikan di Indonesia. PFB ini berafiliasi dengan Sarekat Islam (SI), yang mana Suryopranoto duduk dalam posisi penting di Sarekat Islam. Maka tidak bisa dipungkiri bahwa pengaruh Suryopranoto (dengan mendirikan serikat buruh - PFB) merupakan salah satu faktor penting yang membuat Sarekat Islam menjadi perhimpunan rakyat terbesar di Indonesia kala itu. Tercatat pada tahun 1919, anggota SI menembus angka 2,5 juta orang.   

Ningrat Pembela Rakyat 

Ia dilahirkan di Yogyakarta pada hari Ahad Kliwon, tanggal 11 Juni 1871 dengan nama Iskandar. Sebagai cucu dari Paku Buwono III, ia mendapatkan gelar kebangsawanan sebagai ‘Raden Mas’. Sebagaimana kebiasaan orang jawa yang mengganti namanya setelah menikah,  Raden Mas Iskandar inipun kemudian berganti nama menjadi Raden Mas Suryopranoto. Namun sesudah menginisiasi perjuangan kaum buruh, dalam sebuah rapat umum bersama kaum buruh, ia pernah menunjukkan papan nama di rumahnya, yang tadinya bertuliskan ‘Raden Mas Soerjopranoto’, ia gergaji tulisan ‘Raden Mas’ dan membuangnya ke sampah, sembari berkata lantang: “Siapa butuh titel Raden Mas boleh terima ini, saya tidak butuh. Yang butuh titel Raden Ayu juga boleh pakai titel istri saya, sebab istri saya tidak butuh titel-titelan lagi.”  

Tidak sekedar membuang gelar kebangsawanannya, bahkan Alimin, salah seorang rekan Suryopranoto di Sarekat Islam, pernah menyebut bahwa Suryopranoto adalah satu-satunya orang dari kalangan Kaum Ningrat yang pertama-tama berjuang ditengah-tengah jelata. Pernyataan itu tidaklah berlebihan karena pada usia 14 tahun ia telah dikenal sebagai ‘pendekar rakyat kecil’ yang kerap menghajar sinyo-sinyo Belanda yang berlaku sewenang-wenang pada rakyat kecil, hingga keluarlah keputusan Asisten Residen untuk membuang jauh Iskandar dari resortnya dengan cara halus, yakni dengan mengeluarkan Surat Ketetapan pengangkatan sebagai Juru Tulis di sebuah kantor pemerintah Tuban (Gresik). Kemudian ia kembali dibuang secara halus untuk yang kedua kalinya, setelah pada tahun 1900 mendirikan perkumpulan ‘Mardi Kaskaya’, semacam koperasi rakyat yang bertujuan membebaskan rakyat kecil dari penghisapan rentenir. Mardi Kaskaya berhasil mempersempit gerak langkah kaum rentenir yang berlindung pada orang-orang Belanda pensiunan. Khawatir dengan pengaruh Suryopranoto yang semakin meluas kepada rakyat, Asisten Residen membuang Raden Mas Iskandar dengan memberikan ijin istimewa Tugas Belajar di Middlebare Landbouwshool Bogor, Jawa Barat. Strategi ini berhasil membuat Mardi Kaskaya mengalami kemunduran sebagaimana yang diharapkan pemerintah Belanda. 

Sang Penunjuk Arah Angin 

Salah seorang jurnalis menjulukinya Suryopranoto dengan sebutan ‘een politike weer-haan’ (penunjuk arah angin) karena kecenderungannya yang kerap berpindah partai/organisasi pergerakan. Bukan karena oportunis, namun karena ia menganggap partai/organisasi pergerakan tersebut sebagai alat perjuangan, bukan sebagai tujuan. Suryoranoto tercatat aktif dalam beberapa pergerakan, antara lain:

Budi Utomo

Tatkala Budi Utomo berdiri pada tahun 1908, Suryopranoto segera bergabung dengan organisasi ini. Karena keaktifannya, dua tahun kemudian ia duduk dalam Pengurus Besar Budi Utomo sebagai sekretaris, dengan ketua umumnya Dwijosewoyo. Saat itu, ia juga turut merintis Maskapai Asuransi bangsa kita yang pertama yang bernama Onderlinge Levensverzekering Maatschappij PGHB (sekarang ‘Bumi Putera’) pada 12 Februari 1912. Karena aktivitas pergerakan Budi Utomo yang dirasa lamban dan cenderung bersifat elitis daripada kerakyatan,  pada tahun 1913, ia berpindah ke Partai Sarekat Islam 

Sarekat Islam (SI)

Suryopranoto bergabung bersama dengan Tjokroaminoto ikut merorganisasi Sarekat Dagang Islam (SDI) menjadi Sarekat Islam (SI). Perubahan tersebut bertujuan agar keanggotaan tidak hanya terbatas pada golongan pedagang, namun terbuka bagi seluruh umat Islam di Indonesia. Suryopranoto yang duduk dalam posisi penting di SI, diserahi tugas untuk menangani kaum buruh dan tani. Namanya menjadi harum setelah keberhasilannya dalam memimpin aksi pemogokan buruh. 

Selain memegang pimpinan di PFB, Suryopranoto tercatat pernah ikut memegang pimpinan Opium-Regie Bond; Perserikatan Personeel Pandhuis Bond (P.P.P.B); Persatuan Pergerakan Kaum Buruh (P.P.K.B); serta Organ-Organ Serikat Buruh seperti Fajar, Moestika, Redaksi Pahlawan, dan Suara Berkelahi. Totalitasnya berjuang selama di SI, mengantarkannya mengalami momen tiga kali keluar masuk penjara.   

Namun pada tahun 1933, ia bersama dengan dr. Sukiman Wiryosanjoyo malah mendapatkan skors oleh Tjokroaminoto usai keduanya membongkar korupsi yang dilakukan oleh orang-orang SI didalam pimpinan persatuan Pegawai Pegadaian Hindia. Setelah memecat kader centraal yang melakukan korupsi yang bernama Martohadireyo dari organisasi, Tjokroaminoto membawa  masalah tersebut ke dalam kongres SI dan menjatuhkan royeering atas Suryopranoto dan dr. Sukiman Wiryosanjoyo yang dinilai telah melanggar “adab dalam partai”. Keduanya dianggap anti-partai dan memecah belah persatuan. 

Pemecatan disahkan dalam Kongres, dan memerintahkan Suryopranoto untuk meminta maaf dalam kongres, serta menitahkan keduanya untuk membuat pernyataan permohonan maaf yang diumumkan di koran-koran. Menanggapi hal tersebut, Suryopranoto dan dr. Sukiman Wiryosanjoyo bersikukuh bahwa mereka akan melaksanakan putusan kongres, asalkan kongres mencabut putusan pemecatan atas diri mereka dan mengumumkan di koran-koran bahwa keputusan kongres yang melindungi korupsi adalah tindakan yang salah.  

Banyak simpatisannya yang menyesalkan spontanitas Suryopranoto dalam kasus ‘skandal Martohadireyo’ dan menganggap tindakannya yang meskipun benar, namun tidak taktis. Tetapi Suryopranoto berkata: “Bahwa untuk membetulkan kesalahan itu tidak perlu taktik, selain harus dibetulkan.”

Namun skorsing yang telah dijatuhkan atas Suryopranoto ini pada akhirnya ditarik kembali sesudah SI berubah menjadi Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII). Demikianlah Suryopranoto dengan spontanitasnya dan kemurnian pemikirannya. Sebuah penilaian pernah dilontarkan KH. Agus Salim pernah terhadap sosok Suryopranoto: “Hij is opvliegend van aard van wege de reinheid zijner gedachten” (Dia cepat naik pitam karena murni pikirannya). Sementara Bambang Sukawati yang menuliskan biografi Suryopranoto dalam karyanya yang berjudul “Raja Mogok” sampai pada kesimpulan terkait pribadi seorang Suryopranoto bahwa:

“Dia adalah seorang yang merdeka dalam arti kata yang sebenarnya. Merdeka Lahir dan Batin. Tidak ada partai dan ideologi yang mengikat dirinya, karena dia berjuang atas dasar kemauan sendiri dan ia mengikuti kehendak agung dan cita-citanya sendiri. Dia adalah seorang Personalist yang berdasar kemauan sendiri menugaskan diri sendiri untuk tujuan perjuangan kemanusiaan”


Adhi Dharma

Selain aktif di SI, Suryopranoto mendirikan organisasi Adhi Dharma pada tahun 1915. Organisasi ini semacam badan sosial yang ditujukan untuk membantu orang yang tidak mampu. Adhi Dharma bergerak di bidang pendidikan, keterampilan, lapangan pekerjaan, bantuan hukum, kesehatan, serta menghidupkan koperasi ‘Mardi Kaskaya’ yang pernah didirikan di tahun 1900, 

Dalam bidang pendidikan, organisasi ini mendirikan sekolah-sekolah umum untuk rakyat dan kaum miskin. Ki Hajar Dewantara yang pernah menjadi pengajar di sekolah Adhi Dharma sebelum ia mendirikan Taman Siswa, menggambarkan Adhi Dharma sebagai sekolah partikelir yang untuk pertama kalinya didirikan oleh bangsa Indonesia sendiri, yang dahulu sangat harum namanya, dan karena tujuannya yang teguh, telah dengan sendirinya menolak kurikulum pemeintah kolonial. Sekolah Adhi Dharma ini mendapatkan sambutan dari masyarakat hingga membuka kelas-kelas siang hari bagi para pedagang wanita sepulang dari pasar. 

Namun pada masa pendudukan Jepang, sekolah-sekolah yang didirikan Adhi Dharma dibubarkan, maka ia kemudian menjadi guru di Taman Siswa sampai dengan tahun 1947. Hal ini juga dimaksudkan sebagai siasat untuk menghindari tugas-tugas dari Pemerintah Jepang.  

Pahlawan Nasional ke-3

Pada tanggal 15 Oktober 1959, Suryopranoto meninggal dunia dalam usia 88 tahun di kediaman menantunya di Cimahi, Bandung. Jenazahnya dikebumikan di makam keluarga ‘Rahmat Jati’ Kotagede, Yogyakarta pada 17 Oktober 1959 dalam Upacara Kenegaraan dan Militer sebagai seorang Perwira Tinggi. Atas segala jasa-jasanya, beliau ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional ke-3 dengan dikeluarkannya Surat Keputusan Presiden RI No. 310 Tahun 1959 tanggal 30 November 1959. Kemudian menyusul pada 18 Agustus 1960 menerima anugerah Maha Putera Tingkat II Republik Indonesia. 


Penulis: Lilik Purwanti (Pamong Budaya Ahli Pertama Museum Benteng Vredeburg Yogyakarta)



Bagaimana informasi yang disediakan website ini?
   

Bagaimana informasi yang disediakan website ini?