Napak Tilas Tentara Belanda dan TNI Anthonie Peter de Graaff

administrators 03 Juli 2025 13:10:38 12

Ketika Bangsa dan Negara Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada tahun 1945, semua orang lintas generasi mengetahui bahwa peristiwa tersebut memiliki kandungan historis yang tidak akan terlupakan sampai kapanpun. Historiografi Indonesia menempatkan 17 Agustus 1945 sebagai titik balik nasib Indonesia di tangannya sendiri. Namun, harga yang perlu dibayar sangatlah tinggi ketika Agresi Militer I dan II oleh Belanda terjadi. Cerita nasionalistik yang dituturkan bagaikan hitam dan putih, Indonesia melawan Belanda, tertindas melawan balik penindas, dan bangsa merdeka mengentaskan kolonialisme Barat. Semua pihak mempunyai justifikasinya masing-masing dan setiap perasaan yang mereka bawa dalam medan perang tidak bisa kita sepenuhnya salahkan. Namun, apakah benar hingga kini semuanya itu masih hitam putih? Setelah 40 tahun telah berlalu, mereka yang mengalami pedihnya perang, apakah tetap mempunyai perasaan yang sama dan tidak berubah sedikitpun?

Buku ini menjadi jawaban untuk pertanyaan tersebut! Anthonie Peter de Graaff mengajak para pembaca dalam perjalanan emosional ketika dia dan kawan-kawannya tergabung dalam Agresi Militer Belanda. Dahulu, masih sebagai pemuda umur 20-an yang disertakan dalam wajib militer, mereka tidak mengerti kehadiran mereka kembali di Hindia Belanda. Anthonie dan kawan-kawannya melakukan perintah dan bertahan hingga perang usai. Semua usaha veteran Belanda yang pulang tidak disambut selayaknya pahlawan, melainkan orang buangan yang terasingkan, ditambah dengan trauma mendalam yang belum terjawab menambah permasalahan besar bagi Anthonie dan veteran lainnya.

Begitu juga dari pihak TNI, Letnan Jenderal (Purn.) TNI Dading Kalbuadi bersama kawan-kawan yang lainnya mempertanyakan hal serupa. 40 tahun yang lalu, ketika mereka masih berusia belia yang masih terdorong untuk berjuang atas berbagai motivasi: nasionalistik, petualangan, atau kejayaan di peperangan. Waktu telah berlalu, mereka semua telah berubah, tetapi apakah perasaan yang sama 40 tahun yang lalu masih ada? Akhirnya pada tahun 1991, rekonsiliasi antara lawan bertemu. Mereka berjumpa bersama tidak untuk liburan, melainkan napak tilas, kembali menyusuri jalan operasi mereka dan menghadapi masa lalu yang belum terjawab.

Perjalanan ini dikemas oleh Anthonie dalam beberapa bab yang emosional, dari pertama kali mereka mendapatkan surat undangan hingga kedatangan mereka di setiap tempat yang mereka datangi. Kisah emosional ini juga disisipi memori masa lampau dari perspektif Belanda dan Indonesia ketika menyusuri tempat seperti Purwokerto, Wonosobo, dan Sapuran. Anthonie menuliskan karya ini layaknya memoar, di setiap pertemuan akan selalu ada memori yang dikenang. Tulisan ini adalah cerita dari perspektif serdadu Belanda yang datang dan pergi dari Indonesia yang kemudian mengalami tekanan dan trauma mendalam yang tidak terselesaikan. Adapun bab-bab yang lainnya membahas dari perspektif Indonesia, yakni dari veteran Tentara Pelajar yang menghadapi mereka seperti: Pasukan “T” Ronggolawe, Pasukan IMAM (Indonesia Merdeka atau Mati), dan Tentara Pelajar Kompi Purwokerto. Kisah kedua belah pihak hadir untuk saling melengkapi satu sama lain, menjadi narasi lengkap untuk menjawab semua pertanyaan dari banyak orang. Meskipun begitu, buku yang menyajikan rekonsiliasi ini lebih banyak memuat penjelasan dari pihak TNI dengan penjelasan masing-masing divisinya dengan rinci mengenai asal-usulnya daripada tentara Belanda yang hanya menjelaskan mengenai kronologi kisah perang mereka.

Rekonsiliasi bersejarah ini menyatukan kedua belah pihak untuk saling memahami, memaafkan, dan bersahabat. Meskipun terjustifikasi, tetapi kebencian di masa lampau tidak dapat bertahan hingga waktu lama. Seperti yang dituliskan di dalam buku ini, manusia ditakdirkan untuk mencintai perdamaian, bukan peperangan. Pertemuan Anthonie, Dading, dan kawan-kawan yang lainnya merupakan simbol bagi kita untuk terus mengenang sejarah sebagai sebuah pembelajaran, bukan justifikasi kebencian. Ketika kita saling memahami dan memaafkan, tetapi tidak melupakan, maka akan mengobati trauma lama yang terus bertahan. 



Penulis: Ghilman Rusyda Makin

Editor : Winarni 

                 Lilik Purwanti

facebook  twitter-x  whatsapp  


Bagaimana informasi yang disediakan website ini?
   

Bagaimana informasi yang disediakan website ini?