Serangan Umum 1 Maret 1949: Dari Miskomunikasi Sampai Kesuksesan Eksistensi TNI

administrators 15 Agustus 2023 13:45:55 1072


Serangan Umum 1 Maret 1949 menjadi titik balik perjuangan mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia. Peristiwa ini tidak dapat diabaikan karena pada saat itu eksistensi atau keberadaan RI terutama militer nasionalnya yaitu Tentara Nasional Indonesia (TNI) masih diragukan oleh dunia internasional. Agresi Militer II pada 19 Desember 1948 yang dilakukan oleh Belanda membuat pemerintahan pusat RI yang saat itu bertempat di Kota Yogyakarta berada dalam situasi krisis. Hal ini menyebabkan Presiden Soekarno, Wakil Presiden Moh. Hatta, dan jajaran pemimpin lainnya mengadakan pertemuan penting. Dari pertemuan tersebut, disepakati beberapa hasil terutama mengenai pembentukan Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) yang dipimpin oleh Syafruddin Prawiranegara dan bertempat di Kota Bukittinggi, Sumatera Barat. Pada hari itu juga, Soekarno dan Hatta serta beberapa menteri diasingkan Belanda ke Sumatra. 

Sejak pengasingan ini dan PDRI berdiri, Belanda sering mengumandangkan pemberitahuan melalui radio bahwa Pemerintahan RI sudah tidak ada, termasuk juga tentara Indonesia. Hal ini membuat TNI tidak patah semangat dan telah berulang kali melakukan serangan terhadap pos-pos penjagaan yang diduduki oleh Belanda. Pada tanggal 26 Desember 1948, Kolonel Bambang Sugeng mengeluarkan Perintah sebagai Panglima Divisi III No. 1/HD/1948 mengenai pembentukan daerah gerilya atau wilayah pertahanan yang juga disebut dengan Wehrkreise (WK) dan Subwehrkreise (SWK) (Sri Margana & Siti Utami Dewi Ningrum, Satrio Dwicahyo, 2022). Yogyakarta merupakan wilayah Divisi Militer III dan pembagian Wehrkreise dipecah menjadi tiga macam: WK I dipimpin oleh Kolonel M. Bachrun, WK II dipimpin oleh Letkol. Sarbini, dan WK III dipimpin oleh Letkol. Soeharto yang berpusat di desa Segoroyoso, Bantul, Yogyakarta. Wehrkreise memiliki arti sebagai lingkaran atau area pertahanan. Ini merupakan tahap awal dari perencanaan serangan besar yang akan terjadi pada beberapa bulan berikutnya. Dalam menjalankan tahap ini hingga akhir, peran TNI tidak berdiri sendiri dan dibantu oleh Sultan Hamengku Buwono IX. Selain itu, kurir sebagai intelijen pada masa itu juga memiliki peran vital dalam menyampaikan pesan dan informasi rahasia. Perencanaan ini memakan waktu dua bulan sehingga TNI dan berbagai elemen masyarakat perlu menyatukan tujuan sehingga serangan dapat berjalan sesuai harapan rakyat. Serangan umum ini memiliki tujuan utama untuk menunjukkan kepada dunia internasional bahwa RI masih berdiri dan eksis, termasuk TNI yang terbukti kuat dalam menjaga kedaulatan wilayahnya. Serangan ini juga bertujuan bukan untuk menduduki dan mempertahankan, hanya untuk tujuan politis seperti yang dijelaskan sebelumnya.

Sehari sebelum serangan umum dilancarkan, terjadi kesalahan komunikasi. Pada pukul enam tepat bel sirine berbunyi dan terdengar tembakan dari arah Kantor Pos Besar di sebelah utara Alun-Alun Utara. Tembakan tersebut dilakukan oleh peleton Komaroedin dan ternyata mereka salah memperhitungkan tanggal. Akibatnya, Letnan Soegijono mengingatkan bahwa pada hari itu masih tanggal 28 Februari. Komaroedin menarik pasukan ke luar kota dengan cara berpencar. Di daerah lainnya yaitu Giwangan, Yogyakarta, juga terjadi miskomunikasi penyerangan yang disebabkan oleh kebiasaan serangan yang biasanya dilaksanakan pada pukul enam sore dan dalam adat Jawa menganggap waktu tersebut termasuk berganti hari. Semua kejadian tersebut mendapat perhatian Belanda tapi pada kesempatan-kesempatan selanjutnya mereka lengah untuk tidak memperkirakan hal-hal atau serangan yang akan terjadi berikutnya. Pada tanggal 1 Maret 1949 pukul enam tepat, TNI melancarkan serangan gerilya dengan penuh rasa optimis. Pos demi pos dapat ditaklukkan oleh pasukan militer Indonesia. Kolonel Van Langen selaku yang memimpin wilayah yang mulai diserang oleh TNI merasa pasukannya kewalahan dan sempat meminta bantuan dari Magelang yang dipimpin oleh Kolonel Van Zenten.

Pada akhir serangan, target yang direncanakan berhasil dicapai. Pasukan TNI tidak lama bertahan di sana dan pada pukul 12.00 pasukan mulai menarik diri dari pusat kota. Semua ini hanya merupakan bentuk serangan kejutan atau element of surprise dan ini juga menunjukkan bahwa kekuatan TNI masih ada. Serangan ini berlangsung selama enam jam dan juga dikenal dengan sebutan “Peristiwa 6 Jam di Jogja”. Berita mengenai peristiwa ini langsung disebarkan melalui jaringan radio mulai dari radio AURI dan sampai kepada perwakilan RI di PBB, New York, Amerika Serikat serta stasiun Radio PDRI.

Serangan Umum 1 Maret 1949 juga tervisualisasi melalui minirama yang dapat kita saksikan di diorama III Museum Vredeburg Yogyakarta. Disitu terdapat penjelasan lebih rinci terkait serangan tersebut dan gambaran bagaimana peristiwa tersebut terjadi. Tidak lupa juga terdapat Monumen Serangan Umum 1 Maret 1949 yang terletak di samping museum.

Referensi:

Sri Margana, J. I., & Siti Utami Dewi Ningrum, Satrio Dwicahyo, A. F. (2022). Naskah Akademik SERANGAN UMUM 1 Maret 1949. 130.

Sulistya, V. A. (2020). Buku Panduan Museum Benteng Vredeburg Yogyakarta. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. https://repositori.kemdikbud.go.id/20803/


Penulis: Muhammad Dzaky Putra Sani (Mahasiswa Magang Universitas Sebelas Maret)




Bagaimana informasi yang disediakan website ini?
   

Bagaimana informasi yang disediakan website ini?