Pekan Olahraga Nasional (PON) I Tahun 1948: Kilas Balik Semangat Persatuan Bangsa dalam Gelanggang Olahraga

administrators 11 Maret 2022 18:01:30 15567


Gambar 1. Diorama arak-arakan bendera PON dari Gedung Agung menuju ke Solo melalui depan Hotel Tugu (Sumber: Panel diorama 33, Ruang Diorama 3,, Museum Benteng Vredeburg Yogyakarta, 8 Maret 2022)


Beberapa waktu silam, perhelatan multievent Olimpiade Tokyo 2020 berhasil menarik perhatian masyarakat Indonesia. Terlebih ketika bendera merah putih berhasil berkibar diikuti dengan lagu kebangsaan Indonesia Raya yang turut berkumandang di Mushashino Forest Sport Plaza setelah Indonesia berhasil meraih emas di sektor ganda putri cabang olahraga bulu tangkis. Greysia Polii dan Apriyani Rahayu merupakan sosok dibalik keberhasilan tersebut. Permainan apik nan konsisten selama jalannya pertandingan mengantarkan mereka meraih podium tertinggi dalam perhelatan Olimpiade Tokyo 2020. 

Namun dibalik megahnya euforia Olimpiade Tokyo 2020 terselip sebuah fakta menarik bahwa sebelumnya Indonesia pernah dilarang untuk berpartisipasi dalam multievent empat tahunan tersebut, tepatnya pada Olimpiade London tahun 1948. Larangan tersebut disebabkan oleh tiga alasan. Pertama, Indonesia tidak terdaftar sebagai anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Kedua, Persatuan Olahraga Republik Indonesia (PORI) sebagai induk seluruh cabang olahraga di Indonesia belum terdaftar sebagai anggota resmi International Olympic Commitee (IOC). Ketiga, Inggris menolak paspor Indonesia. 

Batalnya rencana Indonesia untuk ikut serta dalam Olimpiade London 1948 membuat PORI yang diketuai oleh Mr. Widodo Sastrodiningrat mengambil keputusan untuk mengadakan konferensi darurat pada 1 Mei 1948 di Solo. Dalam konferensi darurat tersebut tercetuslah ide untuk menyelenggarakan Pekan Olahraga Nasional (PON), mengingat upaya PORI mengirimkan beberapa atlet dan anggota pengurus besar untuk mencari jalan tengah dengan pihak penyelenggara Olimpiade London 1948 tidak membuahkan hasil. Selain itu, PORI juga ingin menghidupkan kembali pekan olahraga yang pernah diselenggarakan Ikatan Sport Indonesia (ISI) pada 1938 yang disebut dengan nama ISI Sportweek (Pekan Olahraga ISI).

PON pertama kali diadakan pada 9-12 September 1948 di Solo. Sri Sultan Hamengku Buwono IX dipilih sebagai ketua penyelenggara didampingi oleh P. Soejohamidjojo selaku ketua pelaksana di Solo. Solo dipilih sebagai tuan rumah karena pada saat itu pengurus besar PORI berkedudukan di Solo. Rangkaian penyelenggaraan PON I tahun 1948 dimulai dengan upacara pembukaan. Upacara pembukaan PON I diselenggarakan di halaman istana negara Yogyakarta (Gedung Agung) pada 8 September 1948. Upacara dimulai dengan penyerahan bendera PON. Dalam acara tersebut hadir beberapa tokoh penting, seperti Presiden Soekarno, Ibu Fatmawati Soekarno, Sri Sultan Hamengku Buwono IX, Sri Paku Alam VIII, dan para pejabat setempat. Selain itu, hadir pula wakil-wakil Komisi Tiga Negara (KTN). Setelahnya, rangkaian acara dilanjutkan dengan gerak jalan massal dengan membawa bendera PON dari Yogyakarta ke Solo melalui Jl. Tugu Kulon (sekarang Jl. Margo Utomo). Teriakan “Hidup PON” bersamaan dengan “Merdeka atau mati” tak henti-hentinya dikumandangkan oleh para pemuda sepanjang jalan Yogyakarta-Solo. 

Sesampainya di Solo, bendera PON dikibarkan di Stadion Sriwedari, Solo. Dalam rangkaian upacara pembukaan turut dimeriahkan dengan senam massal yang dilakukan oleh ribuan siswa-siswa sekolah menengah di Solo. PON pertama diikuti sekitar 600 atlet dari 13 daerah. Cabang olahraga yang dipertandingkan meliputi atletik, bola basket, bola keranjang, bulu tangkis, panahan, pencak silat, renang (termasuk polo air), sepak bola, dan tenis. PON I ditutup pada 12 September 1948. Upacara penutupan dilaksanakan di Stadion Sriwedari dan dihadiri langsung oleh Panglima Besar Jenderal Soedirman. 

Keberhasilan PORI dalam menyelenggarakan PON I tahun 1948 di Solo menjadi bukti nyata tonggak sejarah persatuan dan perkembangan olahraga di Indonesia. Selain itu, penyelenggaraan PON pertama ini juga telah membuktikan kepada dunia luar bahwa bangsa Indonesia masih tetap dapat memegang persatuan dan kesatuan bangsa di tengah-tengah dentuman meriam dan kondisi negeri yang kian tidak menentu.

Referensi Sumber Bacaan:

Husdarta, H.J.S., Sejarah dan Filsafat Olahraga, (Alfabeta: Bandung, 2019).

Kardiyanto, Deddy Whinata dan H. Sunardi, Sejarah Olahraga, (Pustaka Panasea: Yogyakarta, 2019).

Sulistya, V. Agus, Buku Panduan Museum Benteng Vredeburg Yogyakarta, (Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Kebudayaan Museum Benteng Vredeburg Yogyakarta, 2020). 


Penulis: Brenda Hayuning Zaenardi mahasiswa magang dari sejarah UGM

facebook  twitter-x  whatsapp  


Bagaimana informasi yang disediakan website ini?
   

Bagaimana informasi yang disediakan website ini?